=====BEGINILAH KEHIDUPAN FOTHOGRAFER======
Mungkin Anda pernah merasa kesal karena orang lain tidak
menghargai Anda. Atau, barangkali Anda juga sering marah karena orang lain
tidak memerhatikan Anda. Sepertinya, saling menghormati, menghargai dan tidak
mencibirkan karya orang lain, seolah menjadi sesuatu yang terlalu mewah untuk
dimiliki dan temui saat ini. Padahal, suka atau tidak, kita hidup saling
berinteraksi dengan orang lain.
Saya bukan termasuk pengamat dunia fotografi. Tapi saya
mencoba untuk berpendapat dan mengatakan berdasarkan pengalaman yang sudah saya
alami selama kurang dari tiga puluh tahun bergelut di dunia fotografi. Sejak
pertamakali saya memantapkan diri menggeluti dunia ini, perkembangan fotografi
di Indonesia hingga kini sungguh memprihatinkan. Itu terlepas dari fotografer
profesional atau non profesional.
Sekarang ini, banyak fotografer kita lebih mengembangkan
paradigmanya (baca: pola berpikir atau cara pandang) masing-masing untuk
menjalani profesinya melalui lensa kepentingan, ketimbang kegentingannya.
Akibatnya, tak ada lagi ruang untuk saling menghormati dan menghargai sesama
fotografer.
Meski ada hal tersebut, tapi hanya sebatas dalam satu
komunitas saja. Banyak sekali penghargaan kepada fotografer itu diberikan di
dalam kelompoknya sendiri. Mereka saling memuji di dalam kelompok dan sangat
sempit pola berpikirnya. Bila ada fotografer lain menghasilkan karya bagus di
luar kelompoknya, mereka dengan cepat berlomba-lomba untuk mencibirnya dengan
nada minus.
Mengubah mindset fotografer
Menilai hasil karya orang lain sungguh mudah. Tapi benarkah
pendapat kita itu? Seorang fotografer bila ingin menilai karya orang lain,
seharusnya berpikir dengan rasa terlebih dahulu. Karena seorang fotografer
berpikir tanpa didahului dengan rasa, berarti fotografer itu tidak memiliki
pendewasaan dalam berpikir. Permasalahannya adalah, benarkah pujian dan
menghargai karya sesama fotografer dalam sebuah komunitas itu berangkat dari
hati yang tulus?
Menurut pengalaman saya, hal itu hanyalah sebatas topeng
belaka. Kelihatannya kumpulan dari fotografer itu kompak dalam community-nya.
Tapi dibelakangnya mereka saling bersaing dan membandingkan. Ya, layaknya orang
menjual “pompa dragon” yang melakukan praktik bisnis fotografi dengan cara
menjatuhkan dan bersifat fisik semata. Baginya, sukses mendapatkan
sebanyak-banyaknya materi adalah tujuan utamanya meski harus dengan cara
seperti penjual “pompa dragon”. (Dahulu di pasar Senen, Jakarta, sepanjang
jalan banyak sekali orang menjual pompa dragon dengan memberi label “paling
murah”. Padahal, disamping kiri-kanannya juga menjual pompa dengan merk dan
kualitas yang sama)
Tapi apakah dengan cara seperti itu kesuksesan diraih?
Melihat kondisi seperti ini saya menilai, dunia fotografi itu dunianya “iri”.
Atau kalau boleh saya meminjam istilah Gus Dur, dunia fotografi di Indonesia
sama halnya dengan Dunia Taman Kanak-kanak. Padahal, kita itu hidup dalam satu
atap rumah yang namanya fotografi. Kita hidup bukan untuk saling bersaing. Tapi
kita ada untuk saling melengkapi.
Sebenarnya, semua itu bermuara pada cara pandang, pola pikir
dan komitmen rasa fotografer kepada profesinya. Sementara ini, kebanyakan para
fotografer kita yang sudah lama menggeluti dunia fotografi, nyaris tidak
memiliki kedewasaan dalam pola berpikir. Kebanyakan dari mereka, lagi-lagi menurut
pendapat saya, tidak pernah menghargai orang muda dengan karya-karyanya. Bagi
mereka, yang muda haruslah menghargai dan menghormati seniornya.
Begitu pun sebaliknya. Menurut saya, yang muda juga tak
menghargai para seniornya. Jelaslah terlihat yang ada hanyalah saling mencela,
mencibir, beroritentasi pada materi dan itu sudah menjadi sebuah karekter umum.
Dan hukum yang berlaku adalah antara senior dan yunior. Justru yang harus
dibangun adalah, bagaimana satu sama lain harus bisa saling menghargai dan menghormati
tanpa melihat status.
Untuk bisa mengubah cara pandang, pola berpikir yang disebut
paradigma, sama halnya seperti kacamata. Paradigma ini sangat mempengaruhi cara
kita melihat segala sesuatu dalam hidup kita. Buat saya, dalam fotografi itu
terdapat proses pendewasaan. Untuk bisa mencapai hal itu dalam berpikir dan
berprilaku, sungguh membutuhkan waktu.
Untuk itulah, saya mendirikan sekolah fotografi. Materi yang
kita berikan di sekolah ini tak sekadar teknik belaka. Tapi lebih dari itu
misalnya, bagaimana cara mengendalikan hati, pikiran, mengamalkan ilmu, tidak
berpikir secara kelompok tetapi lebih blending dan bersifat nasional. Bahkan
kalau bisa mengglobal. Itu yang lebih penting.
Melebur dalam rasa dan komitmen profesiPerubahan mindset
tersebut pada hakikatnya merupakan berkah besar yang pada akhirnya
bermanifestasikan dalam bentuk pola berpikir dan cara pandang yang lebih
positif dalam bersikap dan hidup bermasyarakat.
Lalu, bagaimana cara kita membina hubungan baik dengan orang
lain (di luar komunitas) agar hidup kita menjadi lebih menyenangkan? Nah,
mungkin inilah yang harus kita coba latih bagaimana cara menghargai orang lain,
komitmen pada profesi dan mengolah rasa sesama fotografer. Kuncinya hanya satu:
buat orang lain merasa penting, berharga dan hidup bermasyarakat tanpa membawa
predikat sebagai fotografer. Kita harus dikenal semua orang atau masyarakat
secara menyeluruh. Mulai dari kepribadian yang baik, attitude, komitmen dan
memegang teguh tanggungjawab profesi kita sebagai fotografer.
Mungkin pendapat saya ini sepertinya berlebihan. Tapi
sejujurnya yang harus diingat adalah bahwa, kita hidup di negeri timur yang
dituntut saling menghargai, ber“tepo seliro” dan bertingkah laku baik. Bila
hidup di negeri barat, meski kita punya karya yang bagus tapi memiliki pola
berpikir yang sempit dan tingkah laku yang minus, tidak akan dibicarakan oleh
orang lain dan tidak terlalu dipersoalkan. Tapi karyanya yang mereka
diskusikan.
Disitulah perbedaannya antara kehidupan fotografer di
Indonesia dan di luar negeri. Meski saya pernah belajar fotografi di luar
negeri dan banyak memberikan makalah seminar fotografi di luar negeri, bukan
berarti saya bangga. Justru saya lebih senang berbagi ilmu kepada masyakarat
Indonesia, kalau ingin belajar kepada saya soal fotografi. Buat apa saya
memajukan negara lain, sedangkan di negeri ini masih membutuhkan pengetahuan
fotografi?
Menurut saya, belajar fotografi yang dikaitkan dengan
kehidupan, hanya ada di Indonesia. Saya sangat belajar dengan itu. Misalnya:
bagaimana cara menghormati dan menghargai orang lain. Kita harus bisa hidup dan
diterima ditengah masyarakat, bukan karena profesi kita. Tapi kita dikenal
sebagai personal diri yang memiliki pola berpikir dewasa.
Saya masih ingat betul pengalaman menarik tahun 1986 ketika
di Bandung bersama almarhum Bapak H. Boediardjo, mantan Menteri Penerangan
Republik Indonesia (1968-1973). Saat itu, ada sebuah gathering komunitas
fotografer, Bandung yang diprakarsai almarhum. Persoalan utama yang dibahas
oleh almarhum adalah: bahwa fotografer itu tidak boleh hidup berkelompok.
Sebaiknya blending dengan komunitas lainnya sehingga satu sama lain bisa saling
menghargai. Itulah ide almarhum yang sangat saya ingat. Bahwa fotografer itu
hidupnya tidak boleh berkelompok. Atau mengkotak-kotakkan diri bahwa saya
fotografer jurnalis, wedding, atau lainnya.
Dari pengalaman itu saya berusaha untuk “keluar” dan mulai
membaur dengan segala macam lapisan masyarakat tanpa membawa identitas saya
sebagai fotografer. Saya mulai belajar akan kedewasaan hidup dari fotografi.
Berbagi ilmu kepada masyarkat, meski hanya data teknis secara basic. Buat saya,
memberikan data teknis bukanlah pembodohan. Akan tetapi dibalik itu yang lebih
penting adalah bahwa setiap foto harus memiliki jiwa/soul. Hal itu baru bisa
dilakukan kalau kita sudah pada tahap pengolahan rasa. Karena sebetulnya
fotografi adalah: bicara cahaya. Dan cahaya itu harus kita coba, kita lihat,
dan kita rasakan.
Menjadi diri sendiriSekilas tak ada yang luar biasa dari
sebuah kaos. Tapi kaos itu menjadi bernilai bila didisain dengan ilustrasi
sebuah nama atau foto. Namun masalahnya, dari goresan yang melekat pada kaos
itu, memberikan implikasi negatif kepada yang melihatnya. Bukan yang mengenakan
kaos tersebut. Inilah kondisi yang serharusnya tak perlu ada. Padahal, tak
semua orang yang mengenakan kaos dengan gambar tertentu itu menunjukkan jati
dari diri dari orang yang memakainya.
Menurut saya, pada prinsipnya orang ingin mengenakan kaos
berlabel A atau B, bukan sesuatu yang dipersoalkan. Yang mereka pakai bukan
kaos untuk kampanye Pemilu. Tapi yang harus digarisbawahi adalah: bahwa yang
mengenakan kaos tersebut merasa nyaman dan appreciate terhadap karya yang
wajahnya terpasang di kaos yang dikenakannya. Untuk mengenakan kaos tersebut,
tentunya mereka harus mengeluarkna kocek dari kantongnya secara suka rela.
Tanpa ada unsur paksaan. Mau pakai oke, tidak juga, it’s oke.
Kembali lagi kepada bagaimana menjadi diri sendiri. Seorang
fotografer bila ingin memberikan komentar terhadap karya orang lain, seharusnya
berpikir dengan rasa terlebih dahulu. Karena seorang fotografer berpikir tanpa
didahului dengan rasa, berarti fotografer itu tidak memiliki pendewasaan dalam
berpikir.
Selain itu menurut pandangan saya, yang namanya fotografi
adalah, tidak hanya berkaitan dengan profesi saja. Tapi, lebih kepada
tanggungjawab yang lebih luas lagi. Dan tidak ada lagi persoalan saling
mencibir diantara sesama kelompok profesi. Mengapa? Karena kita satu tujuan
untuk mengembangkan dunia fotografi di Indonesia.
Sebaiknya, fotografi itu harus dikembangkan dengan
kehidupan. Nah, komitmen itu yang harus kita miliki dan pada akhirnya kita
tidak akan memiliki musuh. Meski banyak orang menjelekkan saya, tapi TUHAN
tidak tidur. TUHAN itu memberikan rezeki kepada ciptaannya, Tidak Kurang dan
juga tidak lebih.
Biarkan orang awam yang menilai perilaku dan karya kita.
Bukan rekan-rekan seprofesi yang hidup dalam satu lingkungan, menilai karya
kita penuh subyektifitas. Suatu ketika, kita akan hidup dalam kondisi sudah
tidak berkarya. Dan alangkah manisnya hidup ini bila kita dikenal sebagai orang
yang banyak menghasilkan karya yang baik dengan pribadi atau karakter diri yang
baik pula. (Selesai).
Posting Komentar