PEMIKIRAN
FILSAFAT IBNU SINA
A. Filsafat Jiwa
Ibnu Sina
memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang
dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal–soal kejiwaan ataupun
buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat. Memang tidak sukar
untuk mencari unsur-unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan,
seperti pikiran-piiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran-
pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal
ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau
pikiran-pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi
pembahasan metafisika. Dalam segi fisika, ia banyak memakai metode eksperimen dan
banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika
terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati pendapat-pendapat
filosof modern. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan,
baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19
M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon
dan Dun Sco. Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya
tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari
Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan
langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi.
Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada
dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah
Jibril.
Pemikiran ini
berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi
kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau
ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti
bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu
mereka berpendapat: Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang
lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan.
Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai
wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan–akan
tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat
al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud
yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada, bayangan tidak
ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan. Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan
sifat–sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt,
maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan
adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan
alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat
pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni
lagi. Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti
bahwawujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui
tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari
peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt
tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang
memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang dzatnya
sebagaimana kata Sayyed Zayid adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu
adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu
tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama
mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan
sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by
virtual of the necessary being and possible in essence .
PERCIKAN
PEMIKIRAN AL-GHAZALI
Namun demikian,
al-Ghazali menekankan pula pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan untuk Pandangannya
terhadap dunia pendidikan, al-Ghazali lebih banyak berorientasi pada penekanan
bathiniyah (aspek afektif) daripada berorientasi pada pengetahuan inderawi belaka.
Hal ini tampak dari buah karyanya seperti “Fatihat al-Kitab”, “Ayyuh
al-Walad” dan “Ihya Ulumuddin”. al-Ghazali memandang pendidikan
sebagai sarana atau media untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Sang
Pencipta (Allah), dan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak
yang lebih utama dan abadi. Hal ini terlihat dari tujuan-tujuan pendidikan yang
dirumuskannya, yakni:
1.
Insan
Purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT
2.
Insan
Purna yang bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Di samping itu,
terdapat hal yang penting mendapat perhatian dalam mengkaji pemikiran Imam
al-Ghazali dalam bidang pendidikan ini, yaitu pandangannya tentang hidup dan
nilai-nilai kehidupan yang sejalan dengan filsafat hidupnya, meletakkan dasar
kurikulum sesuai dengan proporsinya serta minatnya yang besar terhadap ilmu
pengetahuan. Dengan demikian, corak pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan itu
cenderung sufistik dan lebih banyak bersifat rohaniah. Karena menurutnya ciri
khas pendidikan Islam itu lebih menekankan pentingnya menanamkan nilai
moralitas yang dibangun dari sendiri-sendi akhlak Islam. kepentingan hidup
manusia. Ilmu pengetahuan menurut Imam al-Ghazali adalah sebagai kawan di waktu
sendirian, sahabat di waktu sunyi, penunjuk jalan kepada agama, merupakan
pendorong ketabahan di saat dalam kekurangan dan kesukaran. Sedemikian agung
Imam al-Ghazali memandang ilmu pengetahuan sebagai tolak ukur keberhasilan
pendidikan Islam pada masa kini dan yang akan datang, sehingga Abdul Razak
Naufal menyebut Imam al-Ghazali sebagai peletak dasar ilmu pengetahuan tentang
kejiwaan (Psikologi) di dunia ini. Hal ini sejalan dengan corak dan filsafat pendidikannya
yang bersifat sufistik atau kerohanian itu. Lebih spesifiknya pandangan al-Ghazali tentang pendidikan itu antara lain dinyatakan:
“Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan
semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran
dengan malaikat tinggi. Dan ini, “sesungguhnya adalah dengan ilmu yang
berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang.”
Menurut analisis
Abidin Ibnu Rusn, Kata “hasil”, seperti tertera dalam kutipan pertama di atas,
adalah menunjukkan pada proses, dan kata “mendekatkan diri kepada Allah”
menunjukkan pada tujuan. Dan kata “ilmu” menunjukkan pada alat. Sedangkan pada
kutipan kedua di atas merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam
bentuk pengajaran. Dengan demikian pandangan al-Ghazali mengenai pendidikan Islam
itu adalah sarana bagi pembentukan manusia yang mampu mengenal Tuhannya dan
berkakti kepadaNya. Sehingga dalam pandangan al-Ghazali dinyatakan bahwa
manusia yang dididik dalam proses pendidikan hingga pintar, namun tidak
bermoral, maka orang tersebut dikategorikan sebagai orang bodoh, yang dalam
hidupnya akan susah. Demikian pula orang yang tidak mengenal dunia pendidikan,
dipandangnya sebagai orang yang binasa. Pandangan ini berdasarkan penyataan Abu
Darda, salah seorang sahabat Nabi, yang dikutip oleh al-Ghazali dalam bukunya:
“Orang yang
berilmu dan orang yang menuntut ilmu berserikat pada kebaikan Dan manusia lain
adalah bodoh dan tak bermoral. Hendaklah engkau menjadi orang yang berilmu atau
belajar atau mendengar, dan jangan engkau menjadi orang keempat (tidak masuk
salah seorang dari ketiga itu), maka binasalah engkau”.
Berdasarkan
pernyataan ini al-Ghazali menekankan betapa pentingnya manusia itu berilmu dan
ilmu itu harus diajarkan kepada yang lainnya. Dengan kata lain, al-Ghazali
menghendaki bahwa pendidikan itu menjadi suatu kebutuhan pokok umat Islam. Karena
Islam menghendaki pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat manusia. Dan dengan
pendidikan itu pula umat Islam dapat berproses hingga mencapai predikat sebagai
insan kamil, yakni manusia yang memiliki integritas moral yang tinggi,
yang dibangun dari nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh Islam.
PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI
1.
Epistemologi
Al-Kindi
telah mengadopsi ilmu-ilmu filsafat dari pemikiran tokoh filsafat Yunani, namun
sebagai seorang filosuf Muslim, ia mempunyai kepribadian seorang Muslim sejati
yang tak tergoda dan tetap mayakini prinsip-prinsip di dalam Islam. Al-Kindi
mempunyai pandangan tersendiri tentang pengetahuan, menurutnya pengetahuan
manusia itu pada dasarnya terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu :
1. Pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan indera disebut
pengetahuan indrawi,
2. Pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan akal disebut
pengetahuan rasional 3. Pengetahuan
yang diperoleh langsung dari Tuhan disebut dengan pengetahuan isyraqi atau iluminatif.
Pengetahuan
Indrawi
Pengetahuan
indrawi terjadi secara langsung ketika mengamati obyek-obyek material (sentuhan,
penglihatan, pendengeran, pengcapan dan penciuman). Dalam proses yang sangat
singkat tanpa tenggang waktu dan tanpa ada upaya, obyek-obyek yang telah
ditangkap oleh indera tersebut berpindah ke imajinasi (musyawwiroh), kemudian
diteruskan ke tempat penampungannya yang disebut hafizhah (recolection).
Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini (Inderawi) tidak tetap dan akan
selalu berubah, karena obyek yang diamati pun tidak tetap, selalu dalam keadaan
menjadi, berubah setiap saat, bergerak, berlebih-berkurang kuantitasnya, dan
berubah-ubah pula kualitasnya. Pengetahuan inderawi ini memiliki kelemahan
cukup banyak, sehingga pengetahuan yang didapatkan belum tentu benar.
Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain bahwa indera terbatas, benda yang jauh
terlihat kecil berbeda ketika benda tersebut berada di dekat kita, lalu apakah
benda tersebut memang berubah menjadi kecil, tidak, keterbatasan kemampuan
indera ini dapat memberikan pengetahuan yang salah. Kelemahan kedua adalah
Indera menipu, gula yang rasanya manis akan terasa pahit ketika dirasakan oleh
orang yang sakit, begitu juga udara yang yang panas akan terasa dingin.
Sehingga hal ini akan memberikan pengetahuan yang salah. Kelemahan ketiga ialah
obyek yang menipu, seperti ilusi, fatamorgana. Di sini Indera menangkap obyek
yang sebenarnya tiada. Kelemahan keempat berasal dari indera dan obyek sekaligus,
indera misalnya mata tidak dapat melihat obyek secara keseluruhan dan begitu
juga obyek yang tidak memperlihatkan dirinya secara keseluruhan, sehingga hal
ini akan memberikan informasi pengetahuan yang salah pula.
Pengetahuan
Rasional
Pengetahuan
tentang sesuatu yang diperoleh melalui akal bersifat universal, tidak parsial
dan bersifat immaterial. Obyek pengetahuan rasional bukan individu, tetapi
genus dan spesies. Orang mengamati manusia berbadan tegak dengan dua kaki,
pendek, jangkung, berkulit putih atau berwarna, yang semua ini akan
menghasilkan pengetahuan inderawi. tetapi orang yang mengamati manusia,
menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah
makhluk berfikir (rational animal=hayawan nathiq), telah memperoleh pengetahuan
rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia. Manusia yang
telah ditajrid (dipisahkan) dari hal-hal inderawi tidak mempunyai gambar
telukis dalam perasaan. Cukup jelas bahwa pengetahuan hanya terbagi menjadi
dua, karena keduanya sudah saling melengkapi, tapi hal tersebut belum cukup.
Indera (empiris) dan akal (rasio/logis) yang bekerjasama belum mampu
mendapatkan pengetahuan yang lengkap dan utuh. Indera hanya mampu mengamati
bagian-bagian tertentu tentang obyek. Dibantu oleh akal, manusia juga belum
mampu memperoleh pengetahuan utuh. Akal hanya sanggup memikirkan sebagian dari
obyek. Al-Kindi memperingatkan agar orang tidak mengacaukan metode yang
ditempuh untuk memperoleh pengetahuan, karena setiap ilmu mempunyai metodenya
sendiri yang sesuai dengan wataknya.
Watak
ilmulah yang menentukan metodenya, Adalah suatu kesalahan jika kita menggunakan
suatu metode suatu ilmu untuk mendekati ilmu lain yang mempunyai metodenya
sendiri. Adalah suatu kesalahan pula jika kita gunakan metode ilmu alam untuk
metafisika.
Pengetahuan
Isyraqi
Al-Kindi
mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan
yang hakiki tentang hakikat-hakikat. Pengetahuan rasional terbatas pada
pengetahuan tentang genus dan spesies. Banyak filosof yang membatasi jalan
memperoleh pengetahuan pada dua jalan ini. Al-Kindi, sebagaiman halnya banyak
filosof isyraqi, mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan,
yaitu melalui jalan isyraqi (iluminasi), atau pengetahuan yang langsung
diperoleh dari pancaran Nur Ilahi. Puncak dari jalan ini diperoleh para Nabi
untuk membawakan ajaran-ajaran berasal dari wahyu kepada umat manusia. Para
Nabi memperoleh pengetahuan berasal dari wahyu Tuhan tanpa upaya (kasab), tanpa
bersusah payah untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak
Tuhan semata. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa meraka
untuk memperoleh kebenaran wahyu. Akal meyakinkan pengetahuan pengetahuan
mereka berasal dari tuhan, karena pengetahuan itu ada ketika manusia tidak
mampu mengusahakannya, karena hal itu memang di luar kemampuan manusia. Bagi
manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dengan penuh ketaatan dan
ketundukan kepada kehendak Tuhan, membenarkan semua yang dibawakan para Nabi.
Untuk memberi contoh perbedaan pengetahuan manusia yang diperoleh dengan jalan
upaya dan pengetahuan para nabi yang diperoleh dengan jalan wahyu, Al-Kindi
mengemukakan pertanyaan orang-orang kafir tentang bagaimana mungkin Tuhan akan
membangkitkan kembali manusia dari dalam kuburnya setelah tulang-belulangnya
hancur menjadi tanah; sebagaimana termaktub dalam Al-Qur‟an surah Yasin ayat
78-82. Keterangan yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur‟an ini amat cepat
diberikan oleh nabi Muhammad saw. karena berasal dari wahyu tuhan, dan tidak
mungkin dapat dijawab dengan cepat dan tepat serta jelas oleh filosuf.
Pertanyaan yang diajukan pada Nabi Muhammad SAW. adalah sebagai berikut:
Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah membusuk? Segeralah
tuhan menurunkan wahyu jawabannya: “Katakanlah yang memberinya hidup adalah
penciptanya yang pertama kali, yang mengetahui segala kejadian, Dia yang
menjadikan bagimu api dari kayu yang hijau, kemudian kamu menyalakan api
darinya. Tiadakah yang telah menciptakan langit dan bumi sanggup menciptakan
yang serupa itu? Tentu saja karena Dia maha Pencipta, maha Tahu. Bila Dia
menghendaki sesuatu, cukuplah Dia perintahkan, “jadilah” maka iapun menjadi. Al-Kindi
memberikan penjelasannya tentang ilmu yang berasal dari Tuhan sebagaimana
dicerminkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an tersebut sebagai berikut: “Tidak ada
bukti bagi akal yang terang dan bersih yang lebih gamblang dan ringkas daripada
yang tertera dalam ayat-ayat Al-Qur‟an tersebut, yaitu bahwa tulang-belulang
yang benar-benar telah terjadi setelah tiada sebelumnya, adalah sangat mungkin
apabila telah rusak dan busuk ada kembali. Mengumpulkan barang yang berserakan
lebih mudah daripada membuatnya dari tiada, meskipun bagi Tuhan tidak ada hal
yang dapat dikatakan lebih mudah ataupun lebih sulit.
1.
Wahdatul
Wujud
Wihadat
al-wujud adalah ungkapan dua kata, yaitu wihdat dan al-wujud. Wihdat artinya sendiri
tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud adrtinya ada. Dengan demikian wihdat
al-wujud berarti kesatuan wujud. Menurut ulama klasik ada yang mengartikan
wihdah sebagai sesuatu yang dzatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang
lebih kecil. Menurut para ahli filsafat dan sufisme al-wihdah sebagai satu
kesatuan antara materi dan roh, subtansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara
yang tampak dan yang bathin, antara alam dan Allah.
Konsep kesatuan wujud sendiri sangat kompleks dan sulit ditangkap. Ibnu Arabi memberikan ilistrasi tentang bagaimana hubungan antara tuhan dan alam dalam konsep kesatuan wujudnya. “wajah sebenarnya satu, tapi jika engkau perbanyak cermin, maka ia akan menjadi banyak.” Segala macam benda dan mahluk yang terdapat di alam semesta sebagai manifestasi (tajalliyat)tuhan. Faham wahdat al-wujud oleh Ibn al-Arabi menjadi Khalq –makhluk– dan lahut menjadi haq –Tuhan–. Khalq dan haq [10]adalah dua aspek bagi tiap sesuatu.
Konsep kesatuan wujud sendiri sangat kompleks dan sulit ditangkap. Ibnu Arabi memberikan ilistrasi tentang bagaimana hubungan antara tuhan dan alam dalam konsep kesatuan wujudnya. “wajah sebenarnya satu, tapi jika engkau perbanyak cermin, maka ia akan menjadi banyak.” Segala macam benda dan mahluk yang terdapat di alam semesta sebagai manifestasi (tajalliyat)tuhan. Faham wahdat al-wujud oleh Ibn al-Arabi menjadi Khalq –makhluk– dan lahut menjadi haq –Tuhan–. Khalq dan haq [10]adalah dua aspek bagi tiap sesuatu.
Aspek yang
sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haq.
Konsep dasar pertama dari filsafat Ibn ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada dzat tunggal saja, dan tidak ada yang mewujud selain itu. Istilah Arab untuk mewujud-wujud, yang dapat disamakan dengan kepribadian (eksisten). Perbedaan, yang banyak dilakukan di masa kini, antara mewujud dan mengada (being and existence) tidak dilakukan oleh Ibn Arabi. Maka ketika dia mengatakan bahwa hanya ada zat tunggal, menurutnya yaitu:
Konsep dasar pertama dari filsafat Ibn ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada dzat tunggal saja, dan tidak ada yang mewujud selain itu. Istilah Arab untuk mewujud-wujud, yang dapat disamakan dengan kepribadian (eksisten). Perbedaan, yang banyak dilakukan di masa kini, antara mewujud dan mengada (being and existence) tidak dilakukan oleh Ibn Arabi. Maka ketika dia mengatakan bahwa hanya ada zat tunggal, menurutnya yaitu:
Bahwa semua
yang ada adalah zat tunggal, zat tunggal tidak terpecah ke dalam bagiannya, dan
tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana. Oleh sebab
itu, dalam setiap kepribadian tidaklah ada sesuatu kecuali zat tunggal.
Dengan kata
lain, makhluk atau yang dijadikan, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan yang
bersifat wajib. Tegasnya yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu
Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan. Dalam Al-Qur’an
dijelaskan:
هُوَالأَوَّلُ وَاّلأَخِرُ وَالظَّهِرُ وَاّلبَاطِنُ وَهُوَبِكُلِّ شَيّئٍ
عَلِيّمُ
Artinya: “dialah yang awal dan yang akhir dan
yang dahir dan yang bathin dan dia maha mengetahui segala sesuatu”. (Q.S.
57:3)
1. Insan Kamil (manusia sempurna)
1. Insan Kamil (manusia sempurna)
Doktrin
insan kamil dalam tasawuf Ibnu Arabi, selain terkait erat dengan doktrin
wahdatul wujud dari inti ajaran tasawuf ibnu arabi. Bahwa manusia mencakup
dalam dirinya semua nama dan sifat tuhan. Konsekuensi ontologis sifat teomorfis
ini, yang mencakup semua nama ilahi yang menampakkan dirinya pada alam sebagai
keseluruhan, menjadikan manusia mencakup pula semua realitas alam. Manusia
adalah totalitas alam. Karena itu, manusia disebut miniatur alam.
Dalam konsep
al-Insan al-Kamil yaitu merenungkan penampakan wajah Ilahi menampakkan wajah
Tuhan yang ada pada setiap wujud dan yang berupa roh kudus dari wujud itu. Visi
ini selaras dengan roh wujud ini berhubungan dengan suatu bentuk (hadharat)
tertentu yang bersifat inderawi dan ragawi. Yaitu hal yang esensial bagi wujud
Ilahi dengan kata lain esensi bagi Tuhan yang tak terbatas untuk
memanifestasikan diri di dalam bentuk terbatas.
Dalam konsep insan kamil merupakan awal dari konsep nububiyah, apabila muhammad mati sebagai tubuh, namun nur Muhammad tetap ada. Sebab dia sebagian dari tuhan. Insan kamil tak lain merupakan semacam cerminan dimana al-Haq bisa melihat diri-Nya atau akal yang mengetahui kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
Dalam konsep insan kamil merupakan awal dari konsep nububiyah, apabila muhammad mati sebagai tubuh, namun nur Muhammad tetap ada. Sebab dia sebagian dari tuhan. Insan kamil tak lain merupakan semacam cerminan dimana al-Haq bisa melihat diri-Nya atau akal yang mengetahui kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
Preoses yang harus dilalui oleh seseorang untuk menjadi manusia sempurna adalah al-takhalluq bi ahlakillah (berahlak dengan ahlak Allah), yaitu berahlak dengan nama-nama Allah SWT. Takhalluq adalah membuat nama tuhan yang berbentuk potensial yang telah ada dalam diri kita menjadi aktual.
Dengan
ketaatan mutlak kepada tuhan, ketaatan itu tidak lain dari ubudiyah
(penghambaan).
Seorang manusia sempurna mengejawantahkan kesempurnaan manusia melalui realitas esensialnya, sebagai bentuk dari nama-nama allah, dan melalui pengejawantahan-pengejawantahan aksidentel, perwujudan luarnya mengejawantahkan nama tuhan secara nyata. Manusia-manusia adalah bersifat tetap dalam hal esensi, sebagaimana halnya dengan wujud tuhan. Namun mereka mengalami berbagai transformasi dan transmutasi dengan cara berpartisipasi dalam ke-baqa-an dan penyingkapan diri tuhan.
Seorang manusia sempurna mengejawantahkan kesempurnaan manusia melalui realitas esensialnya, sebagai bentuk dari nama-nama allah, dan melalui pengejawantahan-pengejawantahan aksidentel, perwujudan luarnya mengejawantahkan nama tuhan secara nyata. Manusia-manusia adalah bersifat tetap dalam hal esensi, sebagaimana halnya dengan wujud tuhan. Namun mereka mengalami berbagai transformasi dan transmutasi dengan cara berpartisipasi dalam ke-baqa-an dan penyingkapan diri tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyadi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta; Penerbit Erlangga. 2006), 36.
Harun
Nasution, Filsafat Mistisisme dalam Islam, cet.1, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973). 92.
Muhammad Abd.
Haq Ansari, Merajut tradisi Syari’ah Sufisme, cet.1,(Jakarta; Grafindo Persada,
1997), 168.
Taufik
Abdullah dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 4, (Jakarta; PT
Ichtiar baru Van Hoeve. 2002), 165.
Henry
Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, cet.1., LKiS, Yogyakarta,
2002, hlm. 503-504
Permadi. Pengantar
Ilmu Tasawuf, (Jakarta; PT Renika Cipta. 2004), 101.
M. Fudoli
Zaini. Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikrannya, (Surabaya; Risalah
Gusti. 2000), 114.
Ahmad Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung:
Pustaka Setia. 1997) hlm. 99.
Muhammad
Lutffi Jum‟ah, Tarikh Falasifah Al Islam, (Mesir, 1927) hlm. 1.
George
N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, (Pustaka Bandung, 1983). hlm. 21-22.
Abu
Ahmadi, Filsafat Islam, (Toha Putra Semarang, 1982).
Kamal Al-Yazijy, Al-Nushus
Al-Falsafiyah Al-Muyassarah, (Beirut : Dar Al-„ilm li al-Malayin, 1963),
h.67-68.
Abdullah, Abdurrahman
Shaleh., Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut al-Qur’an serta
Implementasinya, Bandung: Duponegoro, 1991.
Abdul Baqi,
Muhammad Fuad., al-Lu’lu wal Marjan jilid 2, terjemahan Indonesia oleh
H. Salim Bahresy, Surabaya: Bina Ilmu, 1996.
Ahmad As-Sayid,
Mahmud., Mendidik Generasi Qur’ani, Jakarta: Pustaka al- Husna, 1991.
Posting Komentar