Cerpen Karangan: Ennofira
Lolos moderasi pada: 13 February 2016
Di bawah terik yang menyapu mendung sedari pagi. Di atas lantai dingin campuran semen, air, dan pasir. Bayangan ring basket tertoreh di atas tubuhnya. Menggambarkan aksen hitam transparan di atas kulit. Sang surya hampir mengeringkan daun-daun basah yang airnya sudah menetesi rambut Airin. Menyejukkan kulit kepala yang di dalamnya menyimpan banyak kegelisahan. Hanya gadis biasa tanpa keahlian berlebih.
Sikap juga selalu ditutup agar tidak menarik perhatian siswa lain. Dia sungguh ingin tenang dengan kisahnya sendiri. Pembicaraan orang lain tentang dirinya diibaratkan angin yang mengibaskan rambut dan pakaian. Cukup satu orang. Hanya Arga yang tahu seluk beluk fakta tentangnya. Airin membagi penderitaannya dan Arga dengan suka hati menerima. Kekasih tak hanya tentang mencintai dan dicintai tapi setia menemani meski dalam lemah atau kurang.
“Kau di sini?” Terpampang siluet tubuh pria 18 tahun yang menghalangi sinar, memaksa Airin membuka yang dari tadi terpejam. “Aku dan para guru mencarimu ke mana-mana.” Terdengar napas terengah menyisipi setiap kata Arga. Airin mendongak memperhatikan badan pria berdiri di sebelahnya penuh tetesan peluh.
Ekspresi kekhawatiran yang selalu diperoleh Airin. Risau dan cemas terpancar jelas dari sorot mata pria sembilan bulan lebih tua darinya. “Kalian tidak perlu selalu mencariku. Ketika aku pergi pun tidak akan ada yang memikirkanku.” Arga mendudukkan tubuhnya menyetarakan posisi mereka. Gadis yang selalu tampak menyedihkan di hadapannya. Dia mengusap lembut rambut Airin yang berkilau kecokelatan karena sorotan sang raja siang. Lembut selalu dalam genggaman. Aroma sampo menyeruak memenuhi indra penciuman. Arga memperhatikan detail kehidupan Airin.
“Aku memikirkanmu, orangtuamu juga.”
“Mereka bahkan tidak tahu masalahku.” Air bening kembali menetes seraya langit yang kembali abu-abu. Seolah setuju dengan pendapat Airin. Cuaca memang sedang tak konstan tapi mungkinkah langit melukiskan suasana hati seorang Airin. “Kau bisa mempercayaiku. Aku akan mengubah perasaanmu. Beri aku waktu.” Memeluk gadisnya, memasukkan tubuhnya dalam hangat ketulusan adalah impian Arga. Namun Arga tidak bisa egois. Dia tidak ingin Airin merasa risih. Airin menerima kehadirannya lebih dekat sudah sangat cukup.
“Kau membuatku semakin merasa bersalah.”
Arga mengernyitkan dahinya. Matanya fokus melihat ke gadis yang kali ini menatapnya tajam serta penuh duka. Raut yang sering Arga temukan semenjak Airin kehilangan seseorang yang berarti. Bak kehilangan jati diri bahkan untuk tertawa ikhlas pun sangat sukar. “Kenapa?”
“Kau tahu kan kenapa aku menerimamu? Kenapa aku bersedia menjalani hubungan ini? Karena kau..” Airin tersedu lebih dalam sampai suaranya menipis dan serak. Napasnya tersendat air di hidungnya. Diiringi tetesan kecil air yang diterjunkan oleh langit. “Karena kau mirip dengannya. Aku merasa melihat dia setiap melihatmu. Itulah kenapa kita bisa berpacaran sekarang.” Airin hampir kehilangan kontrol bicaranya.
Kenapa melukai perasaan orang seperti Arga bisa sangat gampang baginya? Suaranya menghilang seiring langit yang menangisi kisah mereka. Dia menggenggam erat tangan Arga. Menjatuhkan air-air itu ke tangan hangat dan lembut yang bersedia selalu menjadi penenang: penunjuk jalan ketika dia tidak tahu arah: yang mendirikan tubuhnya ketika dia terpuruk. Arga tak lagi mampu menahan emosinya. Perkataan Airin kenapa mudah sekali. Iba, marah, sedih. Semua rasa tercampur menghujamnya bersamaan dengan air hujan. Airin mendongak, sadar akan seragam putih abu-abu mereka sudah kuyup. Syukurlah air mata Arga dikaburkan oleh hujan. Setidaknya Arga tidak terlihat terlalu menyedihkan.
Airin semakin terisak ketika pria di depannya hanya bungkam. Membiarkan air hujan menyapu habis keringat. Mata Arga menatap kosong bukan ke dirinya. Rasa bersalah lagi-lagi menyinggahinya. Kenapa harus menerima pria yang rela mengorbankan perasaan dan dipandang sebagai orang lain? Airin merasa melukai satu orang lagi. Pikirannya kacau, hatinya menyukai orang yang sudah pergi jauh ke kahyangan. Di hadapannya ada seorang pria dengan banyak kesamaan di antara mereka. Menyatakan apa yang dirasakan, merintis kembali kisah cinta yang indah bagi Airin. Perasaannya tak bisa mengelak. Jatuh cinta kembali menimpa bahkan di saat dia tidak ingin. Airin hanya tidak tahu pada siapa sebenarnya dia jatuh.
“Maaf.” Dekapan Airin menghambur ke tubuh tegap Arga. Di bawah dentum air yang menusuk ke lapisan kulit mereka. Hangat. Sama-sama terlintas di pikiran sepasang kekasih itu. Tatapan beberapa pasang mata yang menatap dari gedung-gedung bercat oranye tak mereka hiraukan. Air mata Airin terasa hangat di dada Arga karena mengalir di antara air hujan yang dingin. Airin ingin melakukannya bahkan sebelum mereka bersama.
Sejak bayangan kembalinya orang itu muncul. Dia ingin meluapkan kerinduan dengan pelukan. Namun, kali ini bisakah masih dikatakan bukan untuk Arga. “Kau tidak menyesal, kan?” Airin berusaha bertanya dengan sisa tenaganya. Arga menggeleng. Dia juga tak sanggup bicara. Pelukan gadisnya membungkam semua syaraf. Tubuhnya seperti tertimpa beton yang sulit diangkat. Rasa sakit sudah terlanjur melekat bahkan kini dia telah merasa nyaman.
—
Suasana membaik, atmosfer kelas mereka beranjak sejuk. Gunjingan-gunjingan atas Airin mereda berkat Arga. Bebungaan tumbuh di sekeliling mereka juga di dalam hati. Airin tak menutup semua kenangannya. Tak jarang Arga harus berlapang dada ketika Airin melakukan hal tak terduga lagi. Tidak ada mengeluh, tidak ada rasa menyesal, yang ada hanya cinta tak terbatas untuk Airin. Gadis yang dia kagumi bahkan sebelum Airin kehilangannya.
Arga segera menarik kedua lengan gadis yang tengah duduk di kusen jendela. Kakinya mengatung ke luar, tangan berpegangan pada pengait jendela. Mereka sedang berada di lantai dua. Itulah yang membuat Arga khawatir. Dia kembali dari rumah yang berjarak 6 kilometer dari sekolah untuk memastikan Airin tidak melakukan hal bodoh. Perasaannya tidak bisa tenang. Airin selalu pulang terlambat. Tentu sejak kejadian tragis itu. Hanya untuk mendengar beberapa lagu terputar di sound yang diambil tanpa izin dari sekolah.
“Bukankah kau sudah pulang?” Wajah polos Airin meredakan ketakutan Arga. Tangannya terlepas perlahan dari lengan berbalut kemeja putih Airin. Dia memposisikan tubuh di sebelah Airin. Gadis dengan tinggi 160 centimeter itu tidak bisa berbohong. Saat dia merencanakan sesuatu akan mudah terbaca. Kesedihan, kemarahan, dan rasa frustasi akan tampak hanya dengan Arga menatapnya.
“Aku kembali karena mencemaskanmu.” Airin tersenyum tipis. Dia menghadap kembali ke hamparan lapangan dengan beberapa anak bermain basket di bawahnya. Arga tidak bisa melepas perhatiannya dari Airin. Dia hanya melirik sebentar lapangan yang menjadi saksi bisu ketika Airin menuangkan perasaannya pada Arga. Arga biasa menatapnya seperti ini. Airin gadis yang sulit menyadari kalau sedang diperhatikan. Dia tidak terlalu peduli pada pandangan orang yang menyukainya. Itulah kebodohan yang melukai orang tulus padanya dan kadang menyakiti dirinya sendiri.
“Kau pasti berpikir aku akan bunuh diri.” Mata Arga membulat. Kata ‘bunuh diri’ agak terdengar menakutkan di telinganya. Kekhawatirannya hanya sebatas melakukan hal nekat. Dulu memang sempat terpikir tapi sekarang Airin berubah lebih hangat. “Tidak. Aku hanya cemas kenapa kau menetap di sekolah sampai senja begini.” Airin kembali tersenyum namun kali ini lebih lebar. Rasa hangat mengalir di kulitnya meski di luar angin saling bertautan. Sebenarnya dia selalu merasakan kehangatan saat di dekat Arga. Kehangatan yang dia dambakan ketika menemui cinta. Udara berisi napas Arga terasa lebih nyaman untuk dihirup.
“Aku rindu seseorang. Ketika aku melihat mereka bermain, seharusnya ada satu orang lagi di sana. Itu membuatku selalu merasa buruk.” Kali ini Arga fokus pada beberapa siswa bermain basket di sana. Itu teman-teman orang yang Airin maksud. Dengan seragam sudah lusuh, basah karena keringat dan gemericik gerimis air hujan. Arga menundukkan kepalanya: berkali-kali membenturkan dahinya ke jendela. Tangan menopang lukanya di kaca yang melindungi mereka dari rintik hujan. Entah kenapa terasa memilukan. Airin tidak penuh memberi perasaannya. Setiap teringat orang itu Airin selalu mengatakan hal menyedihkan baginya sendiri dan menyakitkan bagi Arga.
—
Arga berjalan lebih cekatan di depan Airin. Kini dia sudah masuk ke dalam daerah sunyi itu. Daerah yang gadis itu hindari untuk datang dengan siapa pun. Kesedihannya tidak ingin digunjingkan oleh orang lain. Walau kaki berat melangkah karena mengantar gadisnya ke tempat yang jelas akan membuatnya kembali bersedih. “Kenapa kau membawaku ke sini?” Bola matanya sudah berair, sekali saja mengatupkan kelopak mata maka Arga akan melihatnya menangis lagi. Pagar dari besi setinggi dagu Airin memisahkan mereka.
Seperti dalam alam berbeda walau di atas tanah yang sejalur. Arga sudah berdiri di atas gundukan yang penghuninya selalu dipikirkan Airin. Orang yang tidak mudah Airin lupa atau bahkan tidak bisa. Orang yang membuat Airin jatuh cinta padanya. Hubungan mereka bisa terjadi karena orang di bawah sana. “Kau bilang kau merindukannya, kan?” Airin menggeleng pelan sambil terisak. Langit kembali melukiskan perasaannya. Mendung kembali memayungi mereka. Arga turut berduka hingga dia tidak sanggup melihat Airin. Matanya ikut berair. Gadis itu mahir membuatnya terharu. Dia memilih menunduk. Dia tidak ingin air mata menetes dan gadisnya menyaksikan. “Aku tidak bisa. Kita pulang saja.” Airin beranjak.
Arga mendudukkan tubuhnya yang melemah karena kepedihan. Seperti ada amanah di kedua bahunya. Keduanya tertulis untuk mendampingi Airin. Menjaga gadis yang hanya menganggapnya sebagai pria lain, mendampingi gadis yang menangis untuk pria lain, dan menjadikan dirinya sebagai sumber semangat. Kecemburuan tidak bisa musnah sepenuhnya. Dia bahkan melakukan hal menyakitkan hanya demi melegakan Airin. Cinta benar-benar buta. Namun Arga puas karena dirinya yang berhasil dibutakan oleh cinta Airin. Dia tidak yakin Airin akan lebih baik jika bertemu dengan orang lain. Walau kekhawatiran selalu melanda Arga di setiap perilaku Airin.
Arga membelai nisan yang tertancap di atas tanah gembur lembek karena hujan beberapa jam lalu. Tertulis di sana nama yang selalu membuat Airin sedih jika mengingatnya. Di bawahnya tanggal ketika Airin ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga. Karena saat dia meninggalkannya dalam kepedihan Airin juga ditinggal dalam penyesalan yang diyakini akan seumur hidup. “Terima kasih sudah meninggalkannya. Aku bersyukur Tuhan memilihku untuk menjadi penenangnya. Dia tidak bisa hidup bahagia dengan rasa penyesalan darimu. Izinkan aku mengubahnya. Semua perasaan Airin padamu. Rasa sakit yang dia terima, izinkan aku memilikinya.”
Perasaan bisa berubah tapi kenangan tidak. Meneteskan air mata karena kenangan memang bukan tangisan yang dipaksa. Ketika mengingat kenangan jangan membiarkan seseorang terluka. Jangan sampai mereka menjauh, meninggalkanmu kembali pada kesenduan. Airin beruntung karena Arga yang dia pikir duplikasi dari orang yang menghantui memorinya tidak menuntut banyak. Bahkan Arga bersedia menemani Airin ketika teringat kenangannya. Seseorang yang menghapus air mata, mengelus rambutnya dan menyediakan bahu untuk menopang kepedihannya.
“Kau boleh pergi jika tidak sanggup menerima kenanganku.”
“Tidak akan.”
Posting Komentar