Bendera Bintang Bulan yang beberapa hari terakhir kembali menggelinding sebagai sebuah isu politik di Aceh, setelah Ketua Komisi 1 DPRA Abdullah Saleh “mengikatkan” di kepala Sekwan DPRA A Hamid Zein dalam sebuah insiden kecil di depan Gedung DPRA, belum lama ini. Sebelumnya kabar terakhir soal bendera adalah cooling down pembahasannya oleh Tim Mendagri dan Tim Aceh. Meski sebenarnya tidak dikenal istilah cooling down dalam merumuskan sebuah qanun. Tindakan itu hanya merupakan sikap politik semata yang diciptakan Jakarta.
Saat ini masih banyak warga yang mempertanyakan bagaimana kelanjutan soal bendera Bintang Bulan yang telah disahkan DPRA tersebut. Mengapa belum dikibarkan, padahal tiang sudah dibangun di depan Gedung DPRA? Mengapa Gubernur selaku kepala pemerintah yang diusung oleh Partai Aceh (PA) juga belum berani mengibarkannya? Begitu kira-kira pertanyaan masyarakat yang kerap dilontarkan kepada kami selaku seorang Anggota DPRA. Padahal sebelumnya kehebohan bendera sudah begitu menggema saat pertama disahkan DPRA. Masyarakat berkonvoi dan menaikkan di sepanjang ruas jalan negara.
Meski kemudian ada penurunan baik yang dilakukan oleh aparat keamanan kita dengan alasan Jakarta belum memberi lampu hijau untuk dikibarkan dengan alasan masih sama dengan bendera separatis saat GAM masih berkonflik dengan pemerintah Jakarta. Namun, setuju atau tidak setuju bendera Bintang Bulan kini sudah disahkan dalam sebuah qanun yang disetujui oleh semua fraksi di DPRA. Dalam tata cara pembuatan qanun Aceh juga disebutkan, apabila selama 60 hari qanun tidak dievaluasi oleh Mendagri, maka sah untuk dijalankan. Tetapi, mengapa Jakarta masih saja mempertahankan ego dan melarang bendera yang paling dinanti untuk dikibarkan setelah disahkan itu?
Kedaulatan wilayah
Bendera adalah lambang kebesaran, kewujudan dan kedaulatan sebuah wilayah atau negara karena itu bendera tidak boleh digunakan untuk alat menghapus hal-hal yang tidak mulia. Dalam sebuah negara ataupun sebuah organisasi pun sangat perlu sebuah simbol atau lambang. Simbol-simbol tersebut mempunyai berbagai bentuk, satu di antaranya adalah bendera. Bendera telah digunakan pada abad ke-16 dalam bentuk atau model serta warna yang beraneka ragam. Pada 1122 Masehi, Maharaja Chou seorang pangeran dari dinasti Chou di Cina, misalnya, telah menggunakan bendera warna putih belio adalah pengguna bendera yang pertama di dunia.
Bendera adalah suatu pekara yang mudah, yaitu tak lebih dari pada sehelai kain berwarna, walau bagaimana pun manusia mati-matian mempertahankannya. Bagi Aceh, bendera juga demikian, Bintang Bulan yang telah menjadi bendera Aceh itu dipertahankan habis-habisan. Bendera Bintang Bulan tegak dengan linangan darah ribuan pejuang. Perjuangan yang akhirnya membuahkan perdamaian seperti yang kita rasakan sekarang ini. Perdamaian dalam bingkai NKRI kerap menjadi pembuka pidato petinggi negeri ini, tak terkecuali Gubernur selaku kepala pemerintahan di Aceh.
Lalu adakah yang salah dengan bendera Aceh itu? Tentu jawabnya tidak. Sebab, Aceh adalah kedaulatan Indonesia. Nasionalisme Aceh sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah dinyakan oleh para petinggi pemerintahan di Aceh yang notabenenya juga berasal dari mantan pemberontakan (GAM). Dalam MoU Helsinki antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 silam, juga demikian adanya.
Berpijak dari landasan tersebut, sejarah kemudian telah mengukir transformasi GAM, yang sebelumnya mengusung semangat perjuangan memisahkan diri, seketika bergeser menjadi semangat perjuangan membangun Aceh; Aceh sebagai satu provinsi di Republik ini. Tentu bukan tanpa bukti. Apalagi kemudian, GAM nyata-nyata telah meleburkan diri menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA).
Pembentukan KPA sendiri adalah jalan masuk bagi seluruh pejuang dan simpatisan GAM mewujudkan perjuangan merdeka menuju damai. Pun tidak dapat dibantah, bahwa KPA secara keorganisasian menjadi unsur utama berdirinya sebuah partai lokal di Aceh yaitu Partai Aceh (PA), yang dalam dua pelaksanaan Pemilu Legislatif terakhir sudah mencatatkan diri sebagai peserta demokrasi di negara ini.
Dengan demikian, cukup beralasan jika penulis menegaskan bahwa PA adalah wujud otentik dari bergesernya semangat memisahkan diri menjadi semangat membangun bangsa yang sejahtera dan berkeadilan secara politik. Semangat tersebut begitu kental mewarnai iklim dan budaya keorganisasian yang dikembangkan PA. Bahkan PA sendiri tumbuh tidak hanya menjadi milik eks kombatan atau simpatisannya saja. Namun telah berkembang menjadi milik seluruh lapisan masyarakat dan tercatat sebagai aset strategis negara dalam mengemban misi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang mendiami Aceh.
Partai yang dipimpin mantan Panglima Tentara Neugara Aceh itu juga telah bergelut menjadi salah satu motor penggerak pembangunan peradaban di tanah rencong. Dari titik itulah, bersama fraksi lainnya yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), fraksi PA merumuskan keputusan untuk menggunakan bendera sebagaimana termaktub dalam Qanun No.3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Perumusan kebijakan itu sendiri tidak berangkat dari motif dan kepentingan politik kelembagaan DPRA. Melainkan lahir berlandaskan catatan sejarah dan visi membentuk identitas dan masa depan Indonesia dalam konteks Aceh. Oleh karena itu, menjadi sangat tidak beralasan jika sampai detik ini pemerintah pusat masih saja mempolemikkan bendera yang digunakan Aceh. Padahal kebijakan soal bendera tersebut, sepenuhnya masih mencerminkan konsistensi dan keteguhan Aceh terhadap MoU Helsinki. Pada poin 1.1.5 MoU Helsinki, Pemerintah mengamanatkan adanya hak bagi Aceh menggunakan Lambang, Bendera dan Hymne.
Kewenangan khusus
Perlu digarisbawahi, bahwa Bendera dan Lambang yang ditetapkan Aceh melalui Qanun No.3 Tahun 2013 sama sekali tidak mencerminkan semangat apa pun, selain pengakuan Aceh sendiri sebagai sebuah provinsi, yang memiliki kewenangan dan pengakuan khusus dari negaranya. Jika saja pemerintah memiliki cara pandang tepat guna memahami akar kepentingan Aceh menetapkan bendera dimaksud. Bendera tersebut didedikasikan sebagai media sekaligus upaya Aceh membangun identitasnya. Di sinilah akan membuka pemahaman pemerintah pusat atau pihak yang masih memendam kecurigaan, sehingga cara pandang yang salah terhadap keberadaan bendera itu akan terhindari.
Di masa mendatang, pemahaman tersebut tidak hanya akan dikenang sebagai sebuah wujud kebesaran jiwa pemerintah pusat memberi ruang prerogatif bagi Aceh untuk menentukan identitasnya sebagai sebuah daerah. Lebih jauh, penulis meyakini bahwa pemahaman tersebut juga akan menjadi suplemen yang luar biasa dalam merawat perjalanan damai (peace keeping) yang sudah terbangun sejak 10 tahun terakhir.
Sebaliknya, jika resistensi pusat terhadap hajatan Aceh membangun identitasnya tetap saja berlanjut, maka hal tersebut berpotensi memantik reaksi politik di tingkat lokal. Perdebatan panjang, bahkan pergolakan menentang sikap dan penolakan pusat akan semakin berkembang. Apabila situasi yang tidak diharapkan itu terjadi, maka akan kontraproduktif dengan upaya Aceh mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya di Nusantara.
Masih banyak pekerjaan rumah lain yang perlu diurus ketimbang mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran memperdebatkan (jika tidak ingin disebut mencurigai) keberadaan bendera Aceh.
Catatan masa lalu sudah cukup jelas mengajarkan kepada kita, penduduk Republik ini, bahwa jalan panjang perdamaian Aceh akhirnya mampu disudahi dengan kebesaran jiwa. Bendera Aceh adalah identitas dan harga diri yang dijaga dengan baik. Tidak ada makna lain yang membuat Jakarta pantas mencurigainya.
Di banyak belahan bumi yang lain, melalui bendera, pengakuan suatu negara terhadap identitas daerah atau wilayahnya merupakan sebuah kelaziman dan hal itu tidak mengurangi kedaulatan negara.
Bendera bukanlah sekat yang akan membatasi Aceh dengan Indonesia. Hanya kebesaran hati pemimpin bangsa ini yang kelak akan dikenang. Atas amanat yang diberikan, pemerintah menginginkan bendera itu tidak hanya oleh PA tetapi juga oleh komponen politik lain yang ada di DPRA. Bahkan dukungan penggunaan bendera tersebut juga mengalir dari kalangan akar rumput. Nah!
Masih banyak pekerjaan rumah lain yang perlu diurus ketimbang mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran memperdebatkan (jika tidak ingin disebut mencurigai) keberadaan bendera Aceh.
Catatan masa lalu sudah cukup jelas mengajarkan kepada kita, penduduk Republik ini, bahwa jalan panjang perdamaian Aceh akhirnya mampu disudahi dengan kebesaran jiwa. Bendera Aceh adalah identitas dan harga diri yang dijaga dengan baik. Tidak ada makna lain yang membuat Jakarta pantas mencurigainya.
Di banyak belahan bumi yang lain, melalui bendera, pengakuan suatu negara terhadap identitas daerah atau wilayahnya merupakan sebuah kelaziman dan hal itu tidak mengurangi kedaulatan negara.
Bendera bukanlah sekat yang akan membatasi Aceh dengan Indonesia. Hanya kebesaran hati pemimpin bangsa ini yang kelak akan dikenang. Atas amanat yang diberikan, pemerintah menginginkan bendera itu tidak hanya oleh PA tetapi juga oleh komponen politik lain yang ada di DPRA. Bahkan dukungan penggunaan bendera tersebut juga mengalir dari kalangan akar rumput. Nah!
Sumber: SerambiNew.com
Posting Komentar