Selasa, 05 April 2016

BERTAMBAHNYA ORANG GILA DI ACEH DARI TAHUN 2013 - 2016


ACEH - Kasus gangguan jiwa di Provinsi Aceh terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Masalah kejiwaan itu dipicu antara lain tekanan ekonomi keluarga. Jika tak ditangani dengan baik, itu bisa memicu tindakan di luar kontrol, termasuk kekerasan.


Saat ini kasus kekerasan terus terjadi di Aceh, bahkan ada sejumlah kasus pembunuhan dengan korban masih kerabat dekat atau teman pelaku. Sebagian besar kasus kekerasan itu dipicu masalah ekonomi.


Kepala Seksi Konseling Trauma Dinas Kesehatan Aceh Sarifah Yessi Hediyati, di Banda Aceh, mengatakan, gangguan jiwa bisa timbul karena faktor ekonomi. Menurut Dinas Kesehatan Aceh, masalah kejiwaan di Aceh naik 500-700 kasus per tahun.

Tidak terkendali

Yessi mengatakan, sejumlah kasus kekerasan antara lain terkait masalah kejiwaan. Sebab, orang dengan gangguan jiwa bisa bertindak di luar kendali.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa menyebutkan, ada dua masalah kejiwaan, yaitu orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). ODGJ ialah orang dengan gangguan pikiran dan perilaku, memicu hal tidak terkontrol, seperti menganiaya orang lain.

Adapun ODMK ialah orang dengan masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan, perkembangan, dan mutu hidup, sehingga berisiko terganggu jiwanya. "Masalah yang terakumulasi tanpa penanganan tepat bisa membuat ODMK bertindak di luar kontrol, terutama jika ada pemicu dari luar," ucap Sarifah.

Masalah kejiwaan bisa karena faktor ekonomi. Dinas Kesehatan Aceh mencatat, kasus gangguan jiwa di Aceh naik 500-700 kasus per tahun. Akumulasi data masalah kejiwaan Aceh 18.741 kasus pada 2006-2014.

"Kasus itu banyak terjadi di pesisir timur Aceh, seperti Aceh Utara, Bireuen, Pidie, dan Aceh Besar. Itu daerah padat penduduk dengan persaingan ekonomi tinggi," ucapnya.

Menurut Badan Pusat Statistik Aceh 2014, angka kemiskinan di Aceh 16,98 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional 10,96 persen. Adapun angka pengangguran terbuka Aceh 9,02 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional 5,94 persen.

"Sekitar 68 persen angkatan kerja Aceh ialah pekerja musiman, dibayar di bawah standar," kata Kepala BPS Aceh Hermanto.

Menurut psikolog Nurjanah Nitura, tekanan ekonomi memicu orang berbuat di luar batas kewajaran, seperti menganiaya orang lain dan bunuh diri. Tekanan ekonomi bisa diantisipasi dengan membangun relasi sosial kuat.

"Lunturnya relasi sosial membuat orang bersikap di luar batas," ujarnya. Link


ACEH | DiliputNews.com – Direktur Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh Amren Rahim mengatakan Provinsi Aceh menempati urutan nomor satu prevalensi gangguan jiwa di Indonesia.

“Hasil riset kesehatan dasar yang baru dipublikasikan Kementerian Kesehatan, Aceh menempati posisi teratas prevalensi gangguan jiwa,” kata Amren Rahim di Banda Aceh, Selasa 18 Februari 2014.

Berdasarkan survei tersebut, kata dia, prevalensi gangguan di Aceh mencapai 2,7 persen. Sedangkan rata-rata nasional hanya 1,7 persen. Persentase prevalensi itu artinya dari 1.000 penduduk Aceh 27 orang di antaranya mengalami gangguan jiwa.

“Namun, tentu tidak semua gangguan jiwa itu kategori berat. Umumnya, gangguan jiwa hasil survei ini sifatnya ringan, seperti semangatnya terganggu atau sifat umum lainnya,” kata dia.

Menurut Dr Amren Rahim, tingginya prevalensi gangguan jiwa tersebut menunjukkan penanganan kesehatan jiwa di Aceh belumlah memenuhi standar optimal.

Selain itu, banyak faktor yang mempengaruhi gangguan jiwa penduduk Aceh. Di antaranya faktor biologi, seperti bawaan lahir. Kemudian ada juga faktor konflik dan bencana tsunami beberapa tahun silam.

“Hal ini juga dipengaruhi tidak adanya rumah rehabilitasi bagi penderita gangguan jiwa yang sudah sembuh. Padahal, rumah rehabilitasi ini semacam tempat transisi bagi bagi mereka sebelum berbaur dengan masyarakat setelah mereka dinyatakan sembuh,” kata dia.

Karena tidak adanya tempat rehabilitasi tersebut, lanjut dia, tidak sedikit penderita gangguan jiwa kambuh karena mereka langsung dikembalikan ke masyarakat. Parahnya lagi, pihak keluarga tidak mau menerimanya, sehingga jiwanya kembali terganggu.

Di rumah rehabilitasi tersebut, kata Dr Amren Rahim, mereka bisa ditempa dengan berbagai keterampilan sebagai modal mereka ketika kembali ke masyarakat.


“Di tempat itu, kepercayaan dan harga diri mereka dibangun, sehingga mereka mampu secara fisik dan mental berbaur dengan masyarakat,” kata Amren Rahim.Link

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 .
Shared by Nanggroe Seuramoe. Powered by BEK MUMANG BEEH..!