Jarir bin Hazim berkata dari Ya’la bin Hakim, dari Sa’id bin Jubair. Sa’id mengatakan, “Jika sudah tiba petang hari Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu biasa berkeliling Kota Madinah. Jika melihat sesuatu yang harus diingkari, maka dia mengingkarinya. Suatu malam tatkala sedang meronda, dia melewati seorang wanita di rumahnya yang berkata,
Malam ini terasa panjang dan gelap gulita
Hatiku pilu karena tiada kekasih mendampingi
Andaikan bukan karena Allah yang tiada Rabb selain-Nya
Tentu masih ada kehidupan di ranjang ini
Aku takut kepada-Nya dan ada rasa malu menghantui
Kan kujaga kehormatan suami semoga dia cepat kembali
Setelah itu wanita tersebut menghela nafas dalam-dalam, seraya berkata, “Mestinya apa yang kualami pada malam ini merupakan masalah yang amat remeh bagi Umar bin Khattab.”
Umar mengetuk pintu rumah wanita tersebut. “Siapa yang mengetuk pintu rumah wanita yang ditinggal pergi suaminya malam-malam seperti ini?” Wanita itu bertanya.
“Bukakan pintu!” kata Umar. Namun wanita itu menolak.
“Demi Allah, andaikata Amirul Mukminin mengetahui tindakanmu ini, tentu dia akan menghukummu.” Kata wanita itu setelah berkali-kali Umar meminta untuk dibukakakn pintu.
Setelah tahu kehormatan yang dijaga wanita itu, Umar berkata, “Aku adalah Amirul Mukminin.”
“Engkau pembohong. Engkau bukanlah Amirul Mukminin.”
Umar mengeraskan dan meperjelas suaranya, sehingga akhirnya wanita itu tahu bahwa memang dia adalah Umar. Maka dia membukakannya pintu.
“Wahai wanita, apa yang telah kau ucapkan tadi?” Tanya Umar.
Wanita itu mengulang lagi apa yang dia katakan. “Mana suamimu?” Tanya Umar.
“Ikut bergabung dalam pasukan perang ini dan itu.” Jawabnya.
Selanjutnya Umar mengutus seorang kurir agar Fulan bin Fulan (suami wanita itu) pulang dari medan perang. Setelah benar-benar kembali, Umar berkata kepadanya, “Temuilah istrimu!”
Kemudian Umar menemui putrinya, Ummul Mukminin Hafshah radhiallahu ‘anha, kemudian bertanya, “Wahai putriku, berapa lamakah seorang wanita tahan berpisah dengan suaminya?”
“Bisa sebulan, dua bulan, atau tiga bulan. Setelah empat bulan dia tak mampu lagi bersabar.” Jawab Hafshah.
Maka selanjutnya jangka waktu itu menjadi ukuran lamanya pengiriman pasukan ke medan perang. Hal ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan Allah dalam masalah ila’ (ila’: suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya selama empat bulan atau lebih). Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui bahwa kesabaran wanita bisa menipis setelah empat bulan dan tidak mampu lagi bersabar setelah jangka waktu itu. Maka jangka waktu empat bulan itulah yang ditetapkan bagi laki-laki yang meng-ila’. Setelah masa itu, dia bisa menyuruh istrinya untuk memilih tetap mempertahankan perkawinan atau cerai. Setelah empat bulan, tentu kesabarannya menjadi melemah, sebagaimana yang dikatakan penyair,
Tatkala kuseru tangis dan kesabaran
Setelah di antara kita ada perpisahan
Dengan patuh tangis memberi jawaban
Dan tiada jawaban dari kesabaran
Sumber: Raudhah al-Muhibbin wa Nuzhah al-Mustaqin oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah
Posting Komentar