Sabtu, 26 Maret 2016

BUNG HATTA " bangkit lagi " di Belanda


Keunggulan global menjadi suatu keniscayaan di era yang sudah semakin tak berbatas (borderless), semakin kecil dan semakin terhubung (connected). Hampir seratus tahun lalu hal itu sudah disadari oleh Muhammad Hatta yang pada 1921 pergi ke Belanda untuk menuntut ilmu di bidang ekonomi. 

Di tengah masa kolonialisme ketika itu, Hatta muda tidak terperangkap dengan inferioritas sebagai pelajar dari Negara koloni. Ia justru membuktikan keunggulannya di bidang akademik dan memanfaatkan keberadaannya di Belanda untuk mengembangkan jejaring internasional. 

Semua itu dijadikan amunisi oleh Hatta untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Selama 11 tahun di Belanda dia tidak saja menggali ilmu, tapi juga mengkaji ilmu dan bertransformasi menjadi manusia unggul dan berdaya saing. 

Pemikiran dan upaya-upaya Hatta itulah yang mendasari para pelajar Indonesia penerima beasiswa Studeren in Nederland (StuNed) di Belanda menggagas forum diskusi "In the Footstep of Hatta: How to Build Global Competitiveness". Diskusi digelar pada acara tahunan StuNed Day di KBRI Den Haag, Belanda, Sabtu (19/3/2016). 

Acara tersebut diikuti sekitar 140 pelajar Indonesia di Belanda. Hadir pada diskusi itu Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja, atase pendidikan dan kebudayaan Prof Bambang Hari Wibisono, Direktur Asia Oceania Kementrian Luar Negeri Belanda, Peter Potman, serta Direktur Nuffic Neso Indonesia, Mervin Bakker.

"Selama masa studi di Belanda para pelajar harus benar-benar memanfaatkan secara maksimal bukan saja kualitas dan fasilitas pendidikan yang ada, tapi juga kesempatan mengembangkan jejaring internasionalnya agar dalam segala perubahan yang terjadi mereka punya daya saing tinggi di tataran global," ujar Puja. 

Peter Potman, wakil dari Pemerintah Belanda, menyatakan sepakat dengan hal itu. Potman bahkan menekankan pentingnya peran pelajar bagi masa depan kerjasama bilateral Indonesia dan Belanda. 

Mervin Bakker, Direktur Nuffic Neso Indonesia, yang hadir hari itu menyatakan bahwa semangat,passion dan antusiasme harus dimiliki oleh para pelajar Indonesia. Hal itu mutlak jika ingin output maksimal, baik dari sisi akademis maupun pengembangan diri.

Daya saing 

Diskusi yang dipandu oleh Wildan Ghiffary, mahasiswa program master bidang Marine Resource Management di Wageningen University, itu berjalan sangat dinamis dan kritis. Diskusi menampilkan dua panelis, yaitu Ade Siti Barokah, mahasiswa program master bidang Development Studies, Social Justice di International Institute of Social, Erasmus University Rotterdam, serta Akhmad Khabibi mahasiswa program master bidang Financial Management and Control, di The Hague University of Applied Sciences. 

Ketiganya adalah penerima beasiswa StuNed. Khabibie memaparkan beberapa keunggulan dan daya saing Indonesia dari sisi sumber daya alam, geografi dan demografi. Sementara itu, Ade memaparkan tentang konsep ‘glocality’ atau global dan local, yang mengawinkan penguasaan ketrampilan global dan kesadaran akan nilai-nilai luhur lokal menjadi suatu keunggulan kompetitif. 

"Seyogianya kearifan lokal itulah yang merupakan winning potential dalam persaingan global," jelas Ade. 

Pada diskusi itu para pelajar Indonesia sepakat bahwa untuk unggul dan kompetitif secara global dituntut tekad untuk mengoptimalkam setiap potensi yang dimiliki. Seperti Bung Hatta, para pelajar bertekad memanfaatkan masa studinya di Belanda seoptimal mungkin bukan saja untuk menggali ilmu, tapi juga mengkaji dan mengembangkan ilmu yang didapat untuk diterapkan di tanah air. 

Ya, seperti apa yang dilakukan Muhammad Hatta dulu...

Sumber: kompas

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 .
Shared by Nanggroe Seuramoe. Powered by BEK MUMANG BEEH..!