Senin, 14 Maret 2016

Cerita Tentang Kopi



Bagi saya, kopi adalah minuman pokok. Setiap pagi malahan setiap hari selalu minum kopi.  Ibu saya adalah orang yang pandai dalam mengeloh biji yang dulunya berkulit merah kehitaman sehingga menjadi bau yang dan warna kesukaan orang, beliau jika meracik kopi untuk saya di rumah pasti sangat enak dan pas. Ibu sudah hafal kebiasaan saya itu. Minum kopi sehari 3 kali, seperti makan. Pokoknya sepanjang hari itu di meja dapur kami, selalu ada kopi untuk di minum slalu stand by. Bukan kopi pagi saja yang di buatin ibu tapi waktu malam saya minta dibuatin kopi juga. Bercerita tentang kopi, membuat ingatan saya menarik ke belakang dengan penuh kenangan-kenangan bersama keluarga sewaktu saya belum bekerja dan tinggal bersama orang tua.

Ibu saya adalah petani kopi yang ulung waktu dulu, Ia tak seperti tetangga-tetangga saya yang mayoritas di desa sebagai pedagang. Ibu saya bertani di kebun kopi dari saya belum sekolah.

Hehehehe.....Kok jadi cerita tentang bertani di kopi yaahh ???? Oke, jadi gini, ibu saya jika membuat kopi untuk saya itu adalah kopi hasil karyanya sendiri. Maksudnya mulai dari biji kopi, hingga menjadi bubuk kopi. Ibu saya hampir tiap hari pergi ke pasar. Nah ibu saya selain belanja sayuran dan lainnya, juga membeli biji kopi. Iya, biji kopi, bukan biji yang lainnya. Ia membeli beberapa kilo dan untuk dikonsumsi keluarga kami. Proses dari biji kopi menjadi secangkir kopi itu sangat menguras waktu dan tenaga ibu saya, proses tradisional dan hand made. Tak seperti di cafe-cafe atau tempat nongkrong yang tinggal mencet kopinya sudah jadi, tak ada seninya sama sekali dan terlalu instan.

Jadi, saya akan menceritakan proses yang dilakukan ibu saya agar menjadi kopi yang nikmat. Dan mungkin paling enak yang pernah saya minum. Pertama biji kopi digoreng kami biasa menyebutnya "lhue kupi" , digorengnya tidak dengan penggorengan yang biasa untuk masak atau nasi goreng itu. Apa ya namanya, pokoknya penggorengan itu dari tanah, kurang tahu saya namanya dalam bahasa indonesia kalau di tempat kami namanya "lhue kupi". Nah proses itu saja bisa memakan waktu lebih dari 2 jam. Dalam proses pengolahan itu, ibu saya mencampur kopi itu dengan gula pasir, jadi di dalam penggorengan itu, biji kopinya menjadi berkelompok dan menggumpal dan pastinya lengket. Mengolahnya tak sembarangan, harus dibolak-balik terus agar kopinya tak gosong dan menjadi pahit. Setelah proses itu selesai, biji kopi itu dibiarkan dingin dulu, sekira 1 jam. Lalu, ini pekerjaan yang paling berat dan menguras keringat. Ibu saya menumbuknya biji-biji kopi di dalam tumbukan batu itu hingga halus. Barulah kopi tadi bisa diseduh dan diminum, dan tak lupa dijual. Ibu saya tak mau dalam proses menghaluskan itu dengan mesin penggiling atau penghalus, ia pernah mengatakan pada saya nanti rasanya sudah beda dan sedikit hambar. Entah benar atau tidak, tapi sampai sekarang saya percaya dengan hal itu.

Kopi Arabika

Itulah kopi yang saya dan keluarga saya minum setiap hari, murah dan nikmatnya melebihi kopi sachet dan kopi di cafe-cafe. Tak heran banyak yang menikmati kopi (bubuk) pada ibu saya. Seni membuat kopi menjadi bubuk itu dilakukan hingga sampai sekarang. 

Itu adalah sedikit cerita tentang kopi. Cerita tentang seninya minum kopi yang melalui proses panjang. Anak-anak zaman sekarang kebanyakan tak tahu. dan mungkin tidak tahu bagaimana prosesnya. Ia tahunya tinggal menekan tombol kopi kesukaannya di cafe atau tempat nongkrong. Dunia modern memang membuat apa-apa menjadi instan dan waktu yang cepat. Tapi, menikmati proses dari satu tahap ke tahap lainnya adalah seni dan karya kopi yang luar biasa. Ketradisional-an memang semakin lama digusur oleh dunia modern, saya salut dengan orang-orang yang masih konsisten dengan semua itu. Kadang saya kangen dengan kopi bikinan ibu saya. Saya disini konsumsi kopi ya dari kopi sachetan yang sekali beli harganya seribu, jika sedang di luar ya tak jarang tetap saya beli kopi sachetan yang a la kadarnya rasanya. Kopi tradisional adalah seni karya yang luar biasa dan akan menjadi langka karena para pelakunya sudah berkurang dan generasi muda tak memahami itu.

Posting Komentar

 
Copyright © 2013 .
Shared by Nanggroe Seuramoe. Powered by BEK MUMANG BEEH..!