JIKA suatu ketika Anda melintasi kantor PLN Aceh di jalan Teuku Nyak Arief, di kawasan Lampriet, Banda Aceh, berhentilah sejenak. Lalu bacalah kalimat yang tertulis besar-besar di sebuah baliho yang dipajang di halaman kantornya.
Ada dua kalimat yang cukup menarik perhatian. Yang pertama adalah kutipan sebuah hadist. Begini bunyinya. “Sesungguhnya sebaik-baiknya kamu ialah yang membayar hutang dengan cara yang baik dan tepat waktu (HR. Bukhari).
Kemudian, kalimat kedua adalah kesimpulan yang dibuat oleh PLN, lalu ditegaskan dalam huruf dalam lebih besar dari kutipan hadist di atas. Bunyinya,”Jangan Sampai Hutang Menghambat Kita Masuk Surga.”
Tak ada yang salah dalam kalimat itu. Bahkan, bisa dibilang, itu adalah tindakan yang mulia: mengingatkan orang agar membayar hutang. Dalam kalimat yang lebih lugas, bisalah disimpulkan,”Hei orang Aceh, kalau mau masuk surga, bayarlah hutangmu pada kami tepat waktu.”
Sungguh ajakan yang sangat mulia bukan? Pasti Anda semua sepakat!
Eit, tunggu dulu. Masalahnya, apakah PLN sudah mengimbangi seruan itu dengan kinerja yang bagus dan tidak mengecewakan orang-orang yang telah membayar listrik tepat waktu? Mengapa saat listrik padam orang-orang yang membayar tepat waktu juga terimbas dampaknya? Mengapa seringkali listrik padam justru saat orang-orang hendak salat magrib untuk memperbesar peluang masuk surga seperti seruan PLN Aceh?
Sepekan lalu, saat hendak menduplikasi dokumen di sebuah toko fotokopi di kawasan Luengbata, Banda Aceh, saya disambut pengumuman yang ditempel di dinding toko. “Sedang mati listrik untuk kedua kalinya.” Pengumuman dengan kata-kata yang sama juga tertempel di Warnet di sebelahnya.
Di lain waktu, saat hendak buang air besar, saya kehabisan air. Untuk menyalakan air, saya harus menyalakan mesin yang menggunakan tenaga listrik. Klik! Saya menekan tombol saklar untuk menyalakan mesin. Apa yang terjadi? Listriknya mati! Yang terjadi berikutnya tak usahlah saya ceritakan. Intinya, saya merasa terzalimi. Padahal, saya tak berhutang pada PLN. Bahkan, saya duluan menyetor uang untuk PLN baru memakai listriknya. Ini lantaran saya menggunakan listrik prabayar yang mengharuskan membayar terlebih dahulu, lalu uangnya dipotong sejumlah pemakaian listrik. Kira-kira seperti pemakaian pulsa telepon genggam yang memotong saldo sesuai pemakaian.
Di hari lain, iseng-iseng saya membuka Facebook. Ternyata, bukan saya saja yang merasa terzalimi oleh PLN. Saya menemukan beberapa teman di Facebook juga mengeluhkan hal serupa.
Baiklah, saya kutip saja dua diantaranya. Kebetulan saya kenal betul keduanya. Yang pertama adalah kolega saya yang juga wartawan senior di Banda Aceh. Namanya, Nurdin Hasan.
Pada 8 Maret 2015, Nurdin Hasan menulis,”Hahaahaaa… dari kemarin, tadi malam hingga pagi ini @pln_123 mampusin lampu di UK, Banda Aceh. Makan tu swasembada.” Kalimat itu disertai foto kliping koran berjudul “Aceh Sudah Swasembada Listrik.” Artinya kurang lebih begini: hai pelanggan, kebutuhan listrik di Aceh sudah tercukupi nih, jadi jangan khawatir mati listrik lagi.
Nah, tak lama kemudian, ternyata listrik padam lagi. Maka Nurdin pun kembali menulis,”Di Banda Aceh, selalu gelar gerhana listrik total plus PDAM mati meski sudah belajar ke Turki. Sangat tak bersyariat.”
Terakhir, beberapa hari kemudian, setelah kantor PLN sempat didemo oleh mahasiswa, Nurdin kembali menulis,“Alahai @pln_123 dah ngulah lagi. Tak kau matikan waktu maghrib, ee saat shubuh pulak kau mamposkan. Kapan ni bun grebek? “
Kata “kapan ni bun grebek?” tentu saja ditujukan untuk Walikota Illiza Saaduddin Djamal yang kerap menggerebek orang pacaran karena dinilai tidak sesuai dengan syariat Islam. Nah, Nurdin menilai tindakan PLN mematikan listrik juga tidak sesuai dengan syariat Islam sehingga harus digerebek juga oleh walikota yang disapa dengan sebutan ‘bun’, merujuk pada Illiza yang biasa dipanggil ‘bunda’.
Keluhan lain disampaikan rekan saya Boy Nasruddin Agus yang kini memimpin tim redaksi media Portalsatu.Com. Dalam curhatnya di Facebook, Boy menulis agak panjang. Biar tak salah penafsiran, saya kutip saja kalimatnya secara utuh di bawah ini.
“Pembenaran apa lagi yang ingin disampaikan setelah memadamkan listrik malam ini. Ayolah, anda terlalu banyak beralasan akhir-akhir ini. Lucu jika anda menyebutkan satu pembangkit listrik bermasalah hari ini, karena sudah sepekan lebih kami mengalami kekurangan pasokan daya.
Jangan seperti itulah, Aceh katanya memiliki pembangkit listrik lain seperti di PLTA Peusangan dan tenaga gas di Lhokseumawe. Belum lagi berbicara suplay arus dari sumatera utara. Aceh juga katanya sudah bekerjasama dengan investor luar untuk menggunakan tenaga panas bumi dan menggunakan teknologi kincir angin di Krueng Raya.
Atau dua hal yang terakhir itu masih sekadar wacana ya? Jujur saja lah, jangan mempolitisir hak-hak konsumen dan mendzalimi kami. ?#?gerhanalistrik?”
Tak perlu kecerdasan luar biasa untuk mencerna kalimat itu. Boy jelas-jelas merasa terzalimi oleh ketidakmpuan PLN menjamin ketersediaan listrik bagi konsumennya.
Saya sebenarnya tak ingin mengkhutbahi orang lain, sebab saya sadar diri ini bukanlah pribadi yang sempurna. Namun ketika PLN mengutip ucapan nabi agar orang-orang membayar listrik tepat waktu, saya tergelitik mencari apa sih kata nabi untuk mereka yang menzalimi orang lain. Sampai akhirnya saya menemukan hadist ini:
“Hati-hatilah terhadap doa orang terzalimi karena tidak ada suatu penghalang pun antara doa tersebut dan Allah (HR Bukhari).
Masih kurang nendang? Maka bukalah Alquran. Lalu bacalah surah Asy-Syura ayat 42. Di sana, tertera firman Allah,”Sesungguhnya dosa besar itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.”
Karena itu, mari kita berdoa agar PLN Aceh diberi kemampuan untuk menyediakan listrik, sehingga tak ada lagi orang-orang yang merasa dizalimi. Kasihan kan kalau PLN sudah mengajak kita masuk surga, eh, malah mereka yang mendapat azab di neraka. Isya Allah, bila doa kita makbul, maka kita dan PLN Aceh bisa sama-masa masuk surga :).
Sumber: atjehpost
Sumber: atjehpost
Posting Komentar