PERIHAL kepemimpinan politik dari kalangan kaum perempuan di Aceh bukanlah peristiwa baru.
Tetapi sayangnya kepemimpinan perempuan hanyalah sebuah romantisme sejarah belaka. Kala peradaban Aceh mencapai puncak kejayaannya pada suatu masa di zaman dahulu, era sulthanat (raja-raja perempuan).
Ketika ulama dan rakyat Aceh pernah maklum bahwa kepemimpinan politik itu adalah persoalan kemampuan anak manusia untuk memimpin yang lainnya.
Kala kepemimpinan masih dipahami bukan sebagai warisan satu jenis kelamin anak manusia yang disebut laki-laki.
Kala para sulthanah yakin bahwa kepemimpinan merupakan potensi semua manusia sebagai anugerah Tuhan dalam menjalankan fungsi khalifatullah di bumi.
Kala rakyat Aceh masih cerdas menyikapi hakikat kepemimpinan untuk melayani dan mensejahterakan mereka yang dipimpin, bukan memakmurkan diri, keluarga dan kelompok yang pro kepada satu golongan penguasa saja.
Kesadaran itu pernah ada pada masa lalu, catatan itu masih tersimpan rapi dalam alam pikiran dan pengetahuan sejarah orang Aceh sampai hari ini.
Tetapi sayangnya kepemimpinan perempuan hanyalah sebuah romantisme sejarah belaka. Kala peradaban Aceh mencapai puncak kejayaannya pada suatu masa di zaman dahulu, era sulthanat (raja-raja perempuan).
Ketika ulama dan rakyat Aceh pernah maklum bahwa kepemimpinan politik itu adalah persoalan kemampuan anak manusia untuk memimpin yang lainnya.
Kala kepemimpinan masih dipahami bukan sebagai warisan satu jenis kelamin anak manusia yang disebut laki-laki.
Kala para sulthanah yakin bahwa kepemimpinan merupakan potensi semua manusia sebagai anugerah Tuhan dalam menjalankan fungsi khalifatullah di bumi.
Kala rakyat Aceh masih cerdas menyikapi hakikat kepemimpinan untuk melayani dan mensejahterakan mereka yang dipimpin, bukan memakmurkan diri, keluarga dan kelompok yang pro kepada satu golongan penguasa saja.
Kesadaran itu pernah ada pada masa lalu, catatan itu masih tersimpan rapi dalam alam pikiran dan pengetahuan sejarah orang Aceh sampai hari ini.
Kini, peradaban Aceh mundur sejauh-jauhnya saat masyarakat Aceh hanya perlu berpikir siapa laki-laki yang akan dipilih sebagai penguasa politik untuk masa lima tahun ke depan.
Bukan berpikir siapa manusia (laki-laki dan perempuan) yang mampu memimpin, bukan menguasai, tidak hanya untuk lima tahun saja tetapi lebih lama dari itu. Siapa orang yang siap melayani masyarakat Aceh dengan segenap pikiran, tenaga dan spiritualitasnya.
Namun sayang, sekarang kecerdasan kita sedang mengurang. Masyarakat Aceh sedang digiring ke dalam perkauman, perkubuan, atau pengelompokan berdasarkan kepentingan sesaat persis seperti kelakuan masyarakat pedalaman (Badui) di jazirah Arab.
Ironi penguasa sekarang sarat dengan hasrat berkuasa tanpa mau menjadikan kekuasaan itu sebagai amanah, yang harus dipertanggungjawabkan dunia-akhirat.
Ia hanya mau berkuasa, tidak untuk memimpin yang melayani dan menyejahterakan semua lapisan masyarakat tanpa memandang kelompok merah, kuning, biru, hijau, putih dan ungu.
Bukan berpikir siapa manusia (laki-laki dan perempuan) yang mampu memimpin, bukan menguasai, tidak hanya untuk lima tahun saja tetapi lebih lama dari itu. Siapa orang yang siap melayani masyarakat Aceh dengan segenap pikiran, tenaga dan spiritualitasnya.
Namun sayang, sekarang kecerdasan kita sedang mengurang. Masyarakat Aceh sedang digiring ke dalam perkauman, perkubuan, atau pengelompokan berdasarkan kepentingan sesaat persis seperti kelakuan masyarakat pedalaman (Badui) di jazirah Arab.
Ironi penguasa sekarang sarat dengan hasrat berkuasa tanpa mau menjadikan kekuasaan itu sebagai amanah, yang harus dipertanggungjawabkan dunia-akhirat.
Ia hanya mau berkuasa, tidak untuk memimpin yang melayani dan menyejahterakan semua lapisan masyarakat tanpa memandang kelompok merah, kuning, biru, hijau, putih dan ungu.
Politik sempit
Dewasa ini isu perpolitikan Aceh tidak lebih dari perihal pergantian (suksesi) penguasa daerah (gubernur, bupati/wali kota). Setelah satu periode lima tahunan selesai, tiba saatnya untuk memilih yang itu lagi. Urusannya tidak lebih dari urusan ganti dan pilih yang baru. Soal apa yang dikerjakan setelah dipilih tidak banyak yang peduli.
Rakyat lebih banyak sebagai penonton, dan sudah pasti sebagai korban penggiringan calon penguasa berikutnya. Dibuai janji-janji, rakyat semakin hanyut dalam mimpi-mimpi hampa. Tetapi setelah nafsunya terpenuhi, rakyat dilupakan bagai tidak pernah bertransaksi.
Setelah terpilih kembali, ia tidak pernah memberikan kontribusi dan terobosan apapun untuk rakyat banyak, selain orang-orang tertentu saja di lingkaran pinggangnya saja.
Peradaban berpikir kita mundur saat kita merasa bahwa yang kita pilih adalah penguasa bukan pemimpin, politikus bukan umara, ingin dilayani bukan senang melayani, raja bukan negarawan, pengumpul harta bukan penderma, peminta-minta (fee) bukan pemberi dan pembagi.
Jika model ini yang kita pilih, maka kita akan semakin jauh terjerembab dalam lobang mundur. Kala dalam pikiran kita pemimpin itu adalah manusia berjenis kelamin laki-laki semata, dan perempuan bagai tak pernah ada.
Kemudian kita seakan alergi bila ada yang menawarkan pada figur kepemimpinan kaum perempuan.
Jika model ini yang kita pilih, maka kita akan semakin jauh terjerembab dalam lobang mundur. Kala dalam pikiran kita pemimpin itu adalah manusia berjenis kelamin laki-laki semata, dan perempuan bagai tak pernah ada.
Kemudian kita seakan alergi bila ada yang menawarkan pada figur kepemimpinan kaum perempuan.
Akibatnya dominasi kaum laki-laki untuk merebut kekuasaan terjadi paling kurang lima tahunan sekali menjadi sendiwara dengan ceritanya yang satir.
Apakah di Aceh sekarang ini tidak ada perempuan yang memiliki kemampuan memimpin masyarakat melebihi deretan laki-laki yang kini akan mencalonkan dirinya sebagai gubernur Aceh mendatang? Sebenarnya ada dan bahkan banyak.
Tetapi budaya kemunduran berfikir kita saja yang menghambat mereka untuk tampil ke depan. Model sejarah telah ada dan cukup menginspirasi, namun beban sosial budaya yang sedang set back sajalah yang merintangi kaum perempuan untuk memimpin di ranah publik.
Apakah di Aceh sekarang ini tidak ada perempuan yang memiliki kemampuan memimpin masyarakat melebihi deretan laki-laki yang kini akan mencalonkan dirinya sebagai gubernur Aceh mendatang? Sebenarnya ada dan bahkan banyak.
Tetapi budaya kemunduran berfikir kita saja yang menghambat mereka untuk tampil ke depan. Model sejarah telah ada dan cukup menginspirasi, namun beban sosial budaya yang sedang set back sajalah yang merintangi kaum perempuan untuk memimpin di ranah publik.
Sejujurnya, kita bukan cinta atau benci pada satu jenis kelamin tertentu, apakah perempuan atau laki-laki. Tetapi bagaimana substansi dari tujuan kepemimpinan itu bisa terwujud.
Kalau memang selama ini kaum laki-laki mendominasi kepemimpinan politik di Aceh, dan kemudian ternyata belum bisa membuktikan janji-janjinya pada masyarakat, maka sudah saatnya kepemimpinan di Aceh ini diberikan kesempatan kepada kaum perempuan. Karena bagaimanapun kepemimpinan itu bukan bagian dari dunianya kaum laki-laki saja.
Sebagaimana mindset dan pola pikir kita selama ini bahwa panggung politik itu wilayah periogratifnya kaum laki-laki. Sementara kaum perempuan cukup hanya menjadi rakyat biasa yang setia dan patuh kepadapemimpin yang notabene laki-laki selamanya.
Kalau memang selama ini kaum laki-laki mendominasi kepemimpinan politik di Aceh, dan kemudian ternyata belum bisa membuktikan janji-janjinya pada masyarakat, maka sudah saatnya kepemimpinan di Aceh ini diberikan kesempatan kepada kaum perempuan. Karena bagaimanapun kepemimpinan itu bukan bagian dari dunianya kaum laki-laki saja.
Sebagaimana mindset dan pola pikir kita selama ini bahwa panggung politik itu wilayah periogratifnya kaum laki-laki. Sementara kaum perempuan cukup hanya menjadi rakyat biasa yang setia dan patuh kepadapemimpin yang notabene laki-laki selamanya.
Saya melihat ada sejumlah figur perempuan Aceh masa kini yang mempunyai kapasitas untuk memimpin Aceh. Mungkin hanya terbatas yang saya kenal saja, seperti ibu Naimah Hasan, ibu Raihan Putry, Ibu Asna Husein, ibu Illiza Sa’aduddin Djamal, dan masih banyak sosok perempuan hebat lainnya yang saya belum mengenalnya.
Kriteria yang saya pakai sederhana saja, yaitu sepengetahuan saya mereka telah berhasil memimpin dalam keluarga, terutama terhadap anak-anak mereka. Kemudian mereka memiliki pemikiran yang visioner, maju relevan dengan kebutuhan zamannya.
Mereka juga termasuk perempuan cerdas dan terdidik secara memadai, memiliki pengalaman kerja dan pengabdian kepada bangsa, telah teruji kinerja, loyalitas dan kejujurannya, berani dan tegas. Saya kira cukup itu saja kriterianya sebab jika terlalu banyak hanya akan menjadi utopia belaka.
Kriteria yang saya pakai sederhana saja, yaitu sepengetahuan saya mereka telah berhasil memimpin dalam keluarga, terutama terhadap anak-anak mereka. Kemudian mereka memiliki pemikiran yang visioner, maju relevan dengan kebutuhan zamannya.
Mereka juga termasuk perempuan cerdas dan terdidik secara memadai, memiliki pengalaman kerja dan pengabdian kepada bangsa, telah teruji kinerja, loyalitas dan kejujurannya, berani dan tegas. Saya kira cukup itu saja kriterianya sebab jika terlalu banyak hanya akan menjadi utopia belaka.
Lebih mengayomi
Sebagai bagian dari masyarakat Aceh, melalui media ini saya mengajak dan memotivasi kepada semua perempuan Aceh baik yang tinggal di Aceh dan luar Aceh yang memiliki kemauan dan tekad yang membaja guna memimpin masyarakat Aceh agar segera mendaftarkan diri sebagai cagub Aceh periode 2017-2022 nanti. Saya membayangkan bahwa pemimpin perempuan itu lebih mengayomi, pemimpin laki-laki cenderung menguasai.
Pemimpin perempuan lebih mengerti dan memahami, pemimpinlaki-laki cenderung harus dimengerti dan dipahami. Pemimpin perempuan lebih mendidik, pemimpin laki-laki cenderung menghardik. Pemimpin perempuan lebih santun dan sabar,pemimpin laki-laki cenderung rakus dan kasar.
Pemimpin perempuan lebih transparan dan jujur, pemimpin laki-laki cenderung tertutup dan korup. Pemimpin perempuan lebih hemat dan irit, pemimpin laki-laki cenderung boros dan foya-foya. Pemimpin perempuan lebih menyayangi, pemimpin laki-laki cenderung memusuhi.
Pemimpin perempuan lebih membumi,pemimpin laki-laki cenderung cet langet. Sederet untaian ungkapan ini hanyalah ilustrasi pikiran pribadi saya semata tanpa bersandar pada ahlinya (ulama politik).
Pemimpin perempuan lebih mengerti dan memahami, pemimpinlaki-laki cenderung harus dimengerti dan dipahami. Pemimpin perempuan lebih mendidik, pemimpin laki-laki cenderung menghardik. Pemimpin perempuan lebih santun dan sabar,pemimpin laki-laki cenderung rakus dan kasar.
Pemimpin perempuan lebih transparan dan jujur, pemimpin laki-laki cenderung tertutup dan korup. Pemimpin perempuan lebih hemat dan irit, pemimpin laki-laki cenderung boros dan foya-foya. Pemimpin perempuan lebih menyayangi, pemimpin laki-laki cenderung memusuhi.
Pemimpin perempuan lebih membumi,pemimpin laki-laki cenderung cet langet. Sederet untaian ungkapan ini hanyalah ilustrasi pikiran pribadi saya semata tanpa bersandar pada ahlinya (ulama politik).
Tak dapat dipungkiri bahwa sebagai manusia, kaum perempuan tidak kurang kelemahannya. Karena bagaimanapun, ada peran maha penting lain di dalam keluarga yang ia harus tangani sendiri tanpa dapat diwakilkan pada kaum laki-laki.
Dalam konteks ini laki-laki tidak pernah mengalami untuk menerima beban natural kaum perempuan ini. Peran itu bukan memasak, bukan mencuci, bukan membersihkan rumah, dan bukan pula merawat taman.
Peran maha penting itu adalah peran reproduksi, yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui plus mencurahkan perhatian dan kasih sayang serta mendidik dengan penuh cinta anak-anak sebagai generasi pengganti dan penerus.
Dalam konteks ini laki-laki tidak pernah mengalami untuk menerima beban natural kaum perempuan ini. Peran itu bukan memasak, bukan mencuci, bukan membersihkan rumah, dan bukan pula merawat taman.
Peran maha penting itu adalah peran reproduksi, yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui plus mencurahkan perhatian dan kasih sayang serta mendidik dengan penuh cinta anak-anak sebagai generasi pengganti dan penerus.
Kelemahan pada masalah tidak bisa penuh waktu berada dalam satu urusan kepemimpinan di luar ranah domestiknya. Jam kerja dan mobilitasnya dibatasi waktu dan tanggungjawab yang lain. Namun kelemahan itu bisa dimaknai sebagao kekuatan, kelebihan dan keunggulan perempuan.
Karena ia bisa menangani keduanya sekaligus. Tetapi tidak bagi laki-laki, diminta tukar shift sebentar saja untuk meng-handel urusan keluarga banyak kaum laki-laki yang kebingungan mengahadapinya.
Di sinilah ketangguhan kaum perempuan, justru dalam kelemahannya. Nah, kita tunggu dan lihat saja nanti sudah ada atau belum ada perempuan yang diharapkan dan ditunggu kehadirannya. Semoga!
Karena ia bisa menangani keduanya sekaligus. Tetapi tidak bagi laki-laki, diminta tukar shift sebentar saja untuk meng-handel urusan keluarga banyak kaum laki-laki yang kebingungan mengahadapinya.
Di sinilah ketangguhan kaum perempuan, justru dalam kelemahannya. Nah, kita tunggu dan lihat saja nanti sudah ada atau belum ada perempuan yang diharapkan dan ditunggu kehadirannya. Semoga!
* Muhibuddin Hanafiah, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: ibnu_hanafi70@yahoo.com.
Posting Komentar