Abdurrahman, warga Gampong Cumbok Lie yang menjadi saksi perang saudara ulee balang dan ulama di Cumbok. |
Tak butuh waktu lama bagi Abdurrahman, 72 tahun untuk mengingat kembali tragedi Perang Cumbok, 67 tahun silam. Warga Gampong Cumbok Lie, Kecamatan Sakti, Pidie tersebut adalah salah seorang saksi hidup revolusi sosial Cumbok.
Dia mengerutkan dahinya sejenak. Lalu menuturkan masa kelam itu dengan sangat hati-hati pada perang saudara sesama muslim dan sesama etnik Aceh.
“Cumbok adalah perang merebut kekuasaan,” ungkap Abdurrahman membuka bibir mulutnya kepada The Globe Journal, Selasa 28 Maret lalu.
Pria yang uzur ini menyebutkan, perang itu meletus karena adanya perebutan kekuasaan antara kubu uleebalang dengan tokoh-tokoh ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II.
Ketika itu, sambung Abdurrahman, sebagian uleebalang merasa lebih tinggi kedudukannya daripada PUSA sehingga kaum ningrat itu menolak untuk tunduk kepada PUSA.
Patut dicatat, kaum ulama berusaha mati-matian mengantar Aceh untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Sebaliknya, sebagian uleebalang justru berkeinginan menyambut Belanda agar mereka bisa berkuasa lagi seperti sebelumnya.
“Nagasaki dan Hirosima telah di bom Amerika. Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu. Saat itulah terjadi perpecahan di Aceh. PUSA memilih NKRI dan ulee balang ingin menyambut kembali kedatangan Belanda. Sebagian ulee balang yang lebih berpendidikan dan lebih paham masalah administrasi negara. Oleh sebab itu mereka tak ingin ikut PUSA,” jelas Abdurrahman.
Abdurrahman menerangkan, pada dasarnya pimpinan Perang Cumbok, Teuku Muhammad Daud Cumbok yang akrab di sebut Teuku Cumbok berada pada posisi sulit.
Dia tak ingin terjadi pertumpahan sesama anak bangsa. Namun, karena didesak oleh uleebalang-uleebalang lain, Daud Cumbok mau tak mau menjalankan misinya untuk mengambil kembali kekuasaan penuh tanpa campur tangan PUSA.
“Teuku Daud Cumbok tak ingin berperang. Tapi karena dia Gunco (setingkat Bupati) Lammeuloe (sekarang Kota Bakti). Teuku Cumbok pun mempertimbangkan kemauan anak-anak buahnya. Dan perang pun tak bisa dielakkan,” katanya lagi.
Saat ditanyai The Globe Journal mengenai peperangan di Gampong Cumbok dan Kota Bakti, Abdurrahman menelan ludah berulang kali. Pahit untuk mengutarakannya. Masa kelam itu mesti menjadi catatan agar tidak terulang lagi.
“Namanya juga perang, jadi serba menakutkan. Kedua pihak saling membunuh. Tak ada belas kasihan. Armada Cumbok ada dua, Cap Saoh dan Cap Bintang. Cap Saoh itu pasukan perang handal, semacam tentara. Dan Cap Bintang, pasukan penjaga kota. Seperti polisilah kerjanya,” ujarnya.
Abdurrahman mengingatkan kembali lakap lama yang telah lama tak disebutnya, “Tuentera Cap Saoh pinyampuh uteun, Meutareum jeut keu abee (Tentara Cap Saoh sapu hutan, Meutareum pun jadi abu).”
Faktor kemenangan PUSA pada saat itu, menurut Abdurrahman, karena bantuan peralatan perang Jepang.
“Jepang yang membantu PUSA, sehingga bisa memenangkan Perang Cumbok. Pada saat-saat terakhir, meriam di Gle Gapui Pidie diarahkan ke markas pasukan Cumbok di Meunasah Blang, Kota Bakti, tepat mengenai sasaran setelah tiga kali tembak,” ingat Abdurrahman.
“Pada saat itulah pasukan Cumbok kocar-kacir. Dan rakyat yang marah akan perangai mereka membunuh dengan membabi-buta, semua yang terlibat dengan pasukan Cumbok. Termasuk anak-anak laki-laki keturunan uleebalang yang tak bersalah,” lirik Abdurrahman pahit mengenang nestapa saling membunuh sesama anak negeri.
Posting Komentar