Manusia merupakan makhluk sosial, ia hidup ditengah masyarakat yang individu-individunya memiliki hubungan yang beragam, hubungan perasaan, hubungan sosial kemasyarakatan, hubungan ekonomi, dan hubungan ekonomi dan hubungan kemanusiaan lainnya. Sejak lahir, seorang anak hidup ditengah-tengah keluarganya. Ia memiliki ikatan rasa cinta, kasih sayang, tolong-menolong, kesetiaan, dan keikhlasan dengan seluruh anggota keluarganya, sehingga ia merasa aman, tentram dan bahagia berada di tengah-tengah mereka. Cinta dan kasih sayang seorang anak kepada ibunya merupakan cinta dan kasih sayang yang paling awal ia rasakan sejak lahir.
Hal ini disebabkan karena sang ibu memenuhi semua kebutuhan dasarnya sehingga sang anak merasakan puas dan nyaman. Kemudian secara bertahap, si anak mulai mencintai orang-orang yang berada di sekelilingnya seperti bapak, saudara, teman, tetangga, dan orang lain.
Sebagaimana si anak merasakan cinta kepada kedua orang tuanya dan anggota keluarganya, ia pun merasakan bahwa mereka mencintainya, menyanginya, memberi perhatian dan perlindungan terhadapnya. Atmosfir cinta dalam kehidupan anak merupakan faktor penting dalam membentuk pribadinya yang sehat, merasa damai, percaya diri, dan bahagia. Anak yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini biasanya akan mencintai semua manusia. Dalam kehidupan si anak ketika beranjak dewasa (baca: baligh), perasaan cinta akan menjurus pada lawan jenis, dari sinilah cinta pada lawan jenis akan tumbuh.
Islam tidak mengingkari adanya cinta manusia terhadap lawan jenisnya, karena hal itu merupakan fitrah dan karakter manusia. Hanya saja Islam menyerukan agar pemenuhannya dilakukan dengan cara yang dibenarkan syari’at, yaitu melalui pernikahan. Allâh Ta’âlâ telah memberikan motif seksual dalam diri manusia, inilah yang menyebabkan laki-laki dan perempuan memiliki ketertarikan satu sama lain dalam cinta. Motif inilah yang menjadi sarana untuk menjaga spesiesnya.
Islam mengatur cinta kepada lawan jenis, jika tidak! Maka akan terjadi kerusakan spesies manusia, tidak jelas nasab dan keturunannya. Rasûlullâh mengajak para pemuda yang sudah baligh, berakal dan mampu untuk segera menikah. Adapun bagi mereka yang belum sanggup, beliau menganjurkannya agar berpuasa, karena puasa mampu mengendalikan motif seksual dan motif cinta terhadap lawan jenis. Abdullâh bin Mas’ûd meriwayatkan bahwa Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian sudah mampu untuk menikah, menikahlah! Dan bagi yang belum mampu, hendaklah berpuasa, karena puasa akan menjadi perisai baginya.” (HR Bukhâri, Muslim, Abû Dawud, Tirmidzi, Nasâî, Dârimî, dan Ahmad)
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengomentari hadits ini dalam uraiannya mengenai “cara mengendalikan cinta buta.” Ia berkata, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menawarkan dua obat untuk mereka yang di mabuk cinta; obat asli dan obat pengganti. Obat asli yaitu obat yang memang diciptakan untuk itu. Obat ini tidak boleh diganti jika sudah didapatkan. Sebagaimana tercantum dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dari Ibnu ‘Abbâs, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada obat mujarab bagi orang yang dimabuk cinta selain menikah.” (HR Ibnu Mâjah). Adapun bagi pemuda yang belum sanggup untuk menikah, ia harus memakai obat pengganti yaitu berpuasa. Karena, berpuasa dapat melemahkan motif seksual dan mengalihkan pikiran pada hal-hal yang lebih bermanfaat, seperti beribadah mendekatkan diri kepada Allâh dengan berpuasa, membaca al-Qur’ân, beristighfar dan bertasbih. Semua itu membantunya mengurangi kadar cinta (motif seksual) yang sedang meledak-ledak.
Sudah semestinya seorang lelaki mencintai lawan jenisnya atau mencintai istrinya, memiliki kecenderungan padanya serta merasa tentram hidup bersamanya. Allâh telah mengisyaratkan hakikat itu dalam firman-Nya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS al-Rûm [30]: 21)
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam mencintai istrinya dan ‘Âisyah adalah istri beliau yang paling dicintainya. Tetapi cinta beliau kepada istrinya tidak menyibukkan beliau dari tanggung jawabnya untuk berjihad dan menyebarkan Islam, mengokohkan sendi-sendi di negara, memimpin pasukan untuk berperang, serta membimbing dan mengajari para sahabatnya. Begitulah layaknya kita, cinta pada lawan jenis tidak menjadikan kita semakin jauh dari Islam. Islam hadir untuk membimbing kita pada jalan yang Allâh ridhai.
Posting Komentar