Kau mungkin masih menyimpan beberapa cita-cita. Yaaa…..beberapa yang belum terwujud, bukankah dari kecil kita senang menuliskan banyak cita-cita, banyak keinginan pada secarik kertas. Kemudian….seperti sebuah perlombaan, kita saling memperlihatkannya siapa diantara kita yang paling banyak list cita-citanya. J
Yang paling sedikit, menjadi kalah. Tapi kita tidak pernah sampai berantam dalam hal ini. Kita hanya senang menuliskannya.
Kau selalu terdiam beberapa saat, katamu “aku bingung, aku tidak punya cita-cita” aku mendengar suaramu seperti sebuah kesedihan. Aku tidak percaya. Kau murid terpandai disekolahmu, dan aku berani bertaruh tidak ada yang pandai sepertimu, ketika suatu hari aku membaca “laskar pelangi”, bila ikal memiliki lintang, maka aku memilikimu. Itulah sebabnya aku tak berfikir ingin satu sekolah denganmu, selain alasan harus menyeberang jembatan yg ramai lalu lalang itu, aku juga takut suasana pasar. Sekolahmu melewati pasar yg ramai setiap saat. Kau pernah membujuk dengan “ kita bisa menyeberang sungai klo airnya tidak penuh”.
Tidak…..aku memilih sekolah di madrasah saja, jalannya lurus saja dr rumahku, jaraknya hamper 1 km. tpi prjalanan kesekolahku lbh menyenangkan, sepanjang jalan kiri kanannya ada pohon asam berjejer setiap 10 meter. Teduh. Klo sedang musim daun muda, setiap pagi daun yg gugur terlihat indah disepanjang jalan, klo ada mobil yg melaju dengan kecepatan tinggi, daun-daun kecil itu seperti berlari mengejar.
Aku tidak satu sekolah denganmu karena kau lebih pintar, tentu nanti akan sulit bagiku menjadi siswa teladan. Aku lupa bahwa kau satu tahun diatasku, kau adalah kakak kelas.
Sudahlah. Setiap hari adalah belajar. Sambil memasak, sambil menyuci disumur, sambil cuci piring, sambil bermain ayunan dibawah pohon mangga. Klo mengayun terlalu kuat, nenekmu menjerit dari dalam rumah panggungnya, “ jangan main ayuuuunnn…..kau tidak lihat, dahannya sudah rapuh !!! pergi main disungai !”
Kau memang baik. “main aja, tpi jangan tertawa-tawa, nnti d dengar. Kau tahu…org tua memang begitu”…. Tpi aku blom tenang, kau bukan pememgang kekuasaan dirumah ini, kau adalah anak kecil 10 tahun yg juga setiap hari menerima bentakan klo membantah.
Kadang kita menggambar bentuk rumah pada tanah. Kau selalu memuji apa saja yg aku gambar. Ahhh……padahal hanya goresan lidi. Pernah kau memuji gambarku. Sudah kujelaskan bukan aku yg menggambarnya. Aku hanya mewarnai gambar rumah dan mobil, ukuran kertasnya pun hanya 3 cm, ntah dimana aku mndapatkan kertas bekas itu. Tpi kau memuji gambar yg tanpa sengaja terselip dalam kamus bahasa inggrisku, waktu itu kau meminjamnya. “dia mnggambarnya sendiri, dia memang pandai menggambar ….” Dan temanmu yg lain prcaya bgitu saja. Kau bukan teman yg suka mengarang cerita. Tentu mereka percaya. Pada saat itu kita bukan anak kecil lg, kita sudah 15 tahun.
Kau yg terpintar. Jadi kau tidak perlu menuliskan cita-citamu. Kelak semua yg kau inginkan akan datang sendiri. Kau mendapatkan beasiswa murid teladan saat org lain tidak tahu menau apa itu beasiswa. Setiap membutuhkan uang untuk beli beras, kau menyeberang sungai denganku, berjalan kaki melewati lorong kampong seberang, beberapa belokan, dan sampai pada rumah megah, rumah adat aceh khas org kaya, rumah kepala sekolah. “ pak….mau ambil uang..” dalam peraturannya….kau harus menarik uang langsung ke bank di kota kabupaten, ditemani pak kepsek, menulis pada slip penarikan, tanda tangan, dan mengambil uang. Aku ingat dominal terbanyak yg sering kau ambil tidak lebih dr 5 ribu. Tpi karena kluargamu mmbutuhkan uang saat matahari senja hampur terbenam, saat kedai beras sudah mau tutup, pak kepsek berinisiatif mengeluarkan uang pribadinya, besok baru mngajakmu ke kota.
Aku iri padamu. Seragam sekolahku, kemeja putih dengan kancing putih, rok lipit selutut warna biru tua. Ibuku yg menjahitkannya. Aku selalu menyemir sepatuku dng semir merk kiwi setiap malam senin, karna malam itu adalah jam-jam paling semangat mempersiapkan perihal ke sekolah. Kata ibuku….” Sepatu yg disemir akan bertahan lama…..akan baru selalu..”
Kadang kau lupa mencuci kaos kakimu. Kau tidak sempat. Dan kita hanya memiliki satu pasang kaos kali. Pernah aku berkata “ kau jorok sekali, makanya kakimu kutu air, kau memakai kaos kaki itu dua minggu”….kemudian aku menyesal….” Kau enak, cucianmu sedikit….lihat aku….., aku tidak tau kaos kakiku dimana…….” Benar…aku menyesal….aku mngingat suaraku td seperti sebuah perintah.
Kemudian aku mmbantumu mncari sepatumu, kaos kaki, sikat kain, sabun, memasukkannya ke dalam kantong plastic kresek, dan kita ke sungai, sungai adalah tempat pelarian, pelarian untuk bermain, tempat kebebasan untuk anak kecil yg banyak kerjaan dirumah.
Malam senin, kau menjahit kancing bajumu. Sebenarnya yg tercabut dr tempatnya cm satu biji. Kemeja putih kusam. Kancing putih, dibagian dada terselip kancing merah saga hasil jahitan tanganmu. :D, kemudian kau menggantung seragam sekaolah itu di dinding, kemeja putih dengan rok lipit selutut warna merah.
Cantik….manis. kancing lain masih bertahan utuh. Besok pagi, seorang guru tampak miris melihatmu. Anak ini…..siswi terpandai disekolah ini, murid teladan sekabupaten, dia tidak menuntut dibelikan seragam baru. Dan kau……aku memarahimu ktika dngan bangga kau menceritakan ini suatu hari, bertahun-tahun kemudian. “ ibu itu melihaku terus menerus, kupikir dia melihat apa……rupanya dia mmperhatikan kancing bajuku, jumlahnya ada 6 biji, dengan 6 warna yg berbeda, tak satupun kancing berwarna putih, aku sungguh bangga. Aku menyukainya, …. “. Dan kita tertawa…….:D.
Posting Komentar