Inilah Isi Makalah yang disampaikan oleh Syaikhuna Abu Mudi dalam Video tentang Shalat Taraweh
Silahkan dipelajari dan difahami baik-baik
SHALAT TARAWEH 20 RAKA'AT
PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
الْحَمْدُ لِلّهِ الْحَقِّ الْمُبِيْنِ، الْقَوِيِّ الْمَتِيْنِ، الِّذي أَخْرَجَ قَوْمًا مِنْ ظُلُمَاتِ الْجَهْلِ، وَجَعَلَهُمْ مِنْ الْمُهْتَدِيْنَ، وَتَرَكَ آخَرِيْنَ فِيْ مُهامةِ الْضَلَالَاتِ، وَجَعَلَهُمْ مِنَ الْغَاوِيْنَ. وَالصَّلاةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيْدِنَا مُحَمَّدٍ إِمَاِم الْمُتَّقِيْنَ، وَأَفْضَلِ الشَافِيْنَ. وَعَلَى آلِهِ وَأَصَحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.
Segala puji serta syukur kita kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan catatan kecil ini tentang jumlah rakaat shalat tarawih. Semoga catatan ini bermanfaat bagi kita semua. Shalawat dan salam senantiasa kita tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga beserta para sahabatnya yang dengan gigih untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh belahan dunia.
Maka dalam tulisan ini kami mencoba membahas problematika jumlah bilangan rakaat shalat tarawih yang muncul dalam kalangan masyarakat awam, semoga dengan tulisan kami ini menjadi jawaban yang jelas tentang keshahihan jumlah rakaat shalat tarawih. Catatan ini bersumber dari pendapat para ulama mu’tabarah dalam mazhab Syafii. Hanya kepada Allahlah kita mengharapkan petunjuk, semoga tulisan ini menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi kita semua dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Amiin Ya Rabbal ‘Alamin. DAFTAR ISI
BAB I 1
A. Latar belakang 1
B. Dua hadist yang di jadikan dalil jumlah tarawih 8 rakaat oleh sebagian kelompok 1
C. Pendapat para ulama 2
1. Pendapat Imam al-Baihaqi 2
2. Pendapat Imam Malik 3
3. Pendapat Imam al-Syafi’i 4
4. Pendapat Imam al-Nawawi 4
5. Pendapat Imam al-Syarbaini 5
6. Pendapat Imam al-Sarkhasy dari kalangan al-Hanafiyyah 5
7. Pendapat Imam Ibnu Ḫajar al-Haitami 6
8. Pendapat Imam al-Qulyubi 7
9. Pendapat Imam al-Sinuri 8
10. Pendapat Penjelasan Syeikh Ali Jum'ah Tentang Rakaat Shalat Tarawih 8
BAB II KESIMPULAN
BAB I
Latar belakang
Salah satu syiar Islam di bulan Ramadhan yang penuh berkah dan mempunyai keutamaan di sisi Allah Swt adalah shalat tarawih. Shalat tarawih ini dilakukan pada malam hari di bulan Ramadhan yang dilaksanakan setelah shalat ‘isya dan sebelum shalat witir. Shalat tarawih ini hukumnya sunat muakkad bagi laki-laki dan perempuan. Disunatkan pula melakukannya secara berjamaah.
Ibnu Manzhur dalam Lisanul-Arab mengutarakan bahwa kata “al-tarawih” merupakan bentuk jamak dari kata “al-tarwihah”, yang berarti satu kali istirahat. Penamaan shalat tersebut dengan tarawih dikarenakan para jamaahnya beristirahat sesudah tiap-tiap 4 rakaat. Dalam suatu hadits disebutkan shalat tarawih karena mereka beristirahat di antara 2 kali salam.
Berpijak dari dasar penamaan tersebut, jelaslah bahwa sesungguhnya bilangan shalat tarawih terlebih banyak dari 8 rakaat. Hal ini disebabkan istirahat dilakukan sesudah tiap-tiap 4 rakaat. Karena kata “al-tarawih” berbentuk jamak, maka minimal istirahatnya dilakukan 3 kali sehingga paling sedikit jumlah bilangan rakaatnya adalah 12 rakaat, bukan 8 rakaat.
Dua hadist yang di jadikan dalil jumlah tarawih 8 rakaat oleh sebagian kelompok
Ada dua riwayat hadist yang menjadi pokok permasalahan ini. Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah ra :
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال : صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثمان ركعات وأوتر فلما كانت القابلة اجتمعنا في المسجد ورجونا أن يخرج فلم نزل فيه حتى أصبحنا ثم دخلنا فقلنا يا رسول الله اجتمعنا البارحة في المسجد ورجونا أن تصلي بنا فقال إني خشيت أن يكتب عليكم
“Dari Jabir bin Abdullah ra berkata :”Kami melakukan shalat bersama Nabi Saw di bulan Ramadhan sebanyak 8 rakaat dan melakukan witir. Pada malam berikutnya kami berkumpul di mesjid dan mengharapkan Nabi Saw keluar bersama kami. Namun Nabi Saw tidak kunjung keluar hingga tiba waktu Shubuh. Ketika Rasulullah Saw tiba kami berkata : Wahai Rasulullah, kami semalam berkumpul di mesjid dan berharap Engkau keluar melakukan shalat bersama kami. Nabi Saw menjawab : “Sesungguhnya saya khawatir shalat ini akan diwajibkan atas kalian”. (HR. Imam al-Thabrani)
Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra :
عن أبي سلمة بن عبد الرحمن أنه سأل عائشة كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان قالت ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا فقالت عائشة فقلت يا رسول الله أتنام قبل أن توتر فقال يا عائشة إن عيني تنامان ولا ينام قلبي
“Dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman ra, beliau bertanya kepada ‘Aisyah ra tentang bagaimana tata cara shalat Rasulullah Saw di bulan Ramadhan. ‘Aisyah ra berkata : “Rasulullah Saw tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian Beliau shalat 4 rakaat dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian Beliau shalat 3 rakaat.” ‘Aisyah kemudian berkata : “Saya bertanya kepada Rasulullah Saw :”Apakah engkau tidur sebelum melakukan shalat witir?” Beliau menjawab : “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur tapi hatiku tidak tidur”. (HR. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)
Kedua riwayat inilah yang menjadi landasan utama sekelompok masyarakat yang menyebutkan bahwa jumlah bilangan shalat tarawih adalah 8 rakaat. Akan tetapi, kesimpulan ini terkesan sangat tergesa-gesa dan sama sekali tidak memperhatikan perilaku para sahabat Nabi Saw sendiri dan pandangan para ulama besar Islam.
Pendapat para ulama
Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Sunan al-Kubra meriwayatkan :
عن السائب بن يزيد قال : كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضى الله عنه فى شهر رمضان بعشرين ركعة
“Dari al-Saib ibn Yazid al-Shahabi ra, ia berkata : “Para sahabat pada masa ‘Umar bin al-Khathab ra mendirikan shalat tarawih pada bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat”.
Dalam thariq yang lain Imam al-Baihaqi meriwayatkan :
عن عطاء بن السائب عن أبى عبد الرحمن السلمى عن على رضى الله عنه قال : دعا القراء فى رمضان فأمر منهم رجلا يصلى بالناس عشرين ركعة
“Diriwayatkan dari ‘Itha’ ibn al-Saib dari Abi ‘Abd al-Rahman al-Salmi dari ‘Ali ra, ia berkata : “Panggillah orang-orang yang bagus bacaannya dan perintahkan salah seorang dari mereka untuk melakukan shalat bersama para jamaah pada bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat”.
Imam Malik dalam kitab al-Muwatha’ meriwayatkan :
عن يزيد بن رومان أنه قال كان الناس يقومون في زمان عمر بن الخطاب في رمضان بثلاث وعشرين ركعة
“Dari Yazīd ibn Rauman ra, ia berkata :”Sesungguhnya orang-orang pada masa ‘Umar bin al-Khathab mendirikan Ramadhan dengan 23 rakaat”.
Secara tekstual, riwayat-riwayat tersebut meriwayatkan pelaksanaan shalat tarawih yang terjadi pada masa sahabat Nabi Saw, yaitu pada masa ‘Umar bin Khathab ra dan ‘Ali bin Abi Thalib kwj. Segala sesuatu baik berbentuk perkataan, perbuatan dan seumpamanya yang disandarkan kepada sahabat dinamakan dengan hadits mauquf. Sebagian ulama fikih menamakan hadis mauquf dengan atsar, sedangkan hadis marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi Saw) dinamakan khabar. Adapun para Muhaditsin sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam al-Nawawi menggunakan istilah khabar kepada hadis mauquf dan hadis marfu’.
Perlu diketahui bahwa sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat tidak selamanya dianggap hadits mauquf. Apa yang disandarkan kepada para sahabat tersebut baru dikatakan hadis mauquf bila berhubungan dengan perkara yang bersumber dari pendapat seseorang dan berkemungkinan untuk dilakukan ijtihad. Namun bila perkara tersebut tidak termasuk masalah-masalah yang dihasilkan dari ijtihad maka hadits tersebut digolongkan sebagai hadis marfu’.
Masalah shalat tarawih termasuk jumlah rakaatnya tidak termasuk perkara ijtihadiyyah dan bukan juga masalah yang bersumber dari perkataan dan pendapat pribadi seseorang. Akan tetapi, para sahabat mengetahui hal itu hanya dari Nabi Saw. Sekiranya hal ini merupakan masalah ijtihadiyyah atau pun masalah yang bersumber dari pendapat seseorang, tentulah para sahabat akan berbeda-beda pengamalannya dalam melakukan shalat tarawih sebagaimana lazimnya terdapat perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam masalah-masalah ijtihadiyyah.
Oleh karena itu, riwayat tentang jumlah bilangan rakaat shalat tarawih yang dilakukan oleh sahabat sebanyak dua puluh rakaat tersebut, kendati hal itu mauquf kepada para sahabat, namun statusnya sama dengan hadis marfu’, yaitu hadis yang bersumber dari Nabi Saw. Apabila berstatus sebagai hadis marfu’, maka ia memiliki kekuatan sebagai sumber hukum sebagaimana halnya hadis-hadis marfu’ yang lain.
Dalil selanjutnya adalah ijma’ (konsensus) para sahabat Nabi Saw. Ijma’ mengenai jumlah rakaat shalat tarawih ini dapat dipahami dari tidak ada satu orang pun di antara para sahabat yang memprotes, menyalahkan, dan menganggap pelaksanaan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat pada masa ‘Umar bin Khathab ra dan ‘Ali bin Abi Thalib kwj bertentangan dengan yang dikerjakan oleh Nabi Saw. Padahal pada saat itu ‘Aisyah ra, Abu Hurairah ra, ‘Utsman ibn ‘Affan ra, Sa’ad bin Abi Waqqash ra dan para sahabat senior lainnya masih hidup. Sekiranya jumlah bilangan shalat tarawih 20 rakaat ini bertentangan dengan sunnah Nabi Saw, tentunya para sahabat sudah melakukan protes besar-besaran terhadap Umar bin Khathab ra.
Pendapat shalat tarawih 20 rakaat juga merupakan ijma’ para ulama empat mazhab muktabar, baik al-Hanafiyyah, al-Malikiyyah, al-Syafi’iyyah atau al-Hanbaliyyah.
Imam al-Syafi’i dalam kitab al-Umm mengungkapkan :
ورأيتهم بالمدينة يقومون بتسع وثلاثين وأحب إلى عشرون لانه روى عن عمر وكذلك يقومون بمكة ويوترون بثلاث
“Saya melihat orang-orang di Madinah melakukan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat. Namun yang lebih saya sukai adalah sejumlah 20 rakaat karena hal itu diriwayatkan dari ‘Umar. Demikianlah pelaksanaan tarawih dilakukan oleh orang-orang di Mekkah dan mereka melakukan witir sebanyak tiga rakaat”.
Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ‘ala Syarh al-Muhadzdzab mengatakan :
مذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليمات غير الوتر وذلك خمس ترويحات والترويحة أربع ركعات بتسليمتين هذا مذهبنا وبه قال أبو حنيفة وأصحابه وأحمد وداود وغيرهم ونقله القاضى عياض عن جمهور العلماء وحكى أن الاسود بن مزيد كان يقوم بأربعين ركعة ويوتر بسبع وقال مالك التراويح تسع ترويحات وهى ستة وثلاثون ركعة غير الوتر واحتج بأن أهل المدينة يفعلونها هكذا
“Dalam mazhab kita (al-Syafi’i), shalat tarawih berjumlah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam dan hal ini tidak termasuk witir, dan demikian lima kali istirahat, dan sekali istirahat pada tiap-tiap 4 rakaat dengan 2 kali salam, ini bedasarkan mazhab kita (al-syafi,i), ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah serta pengikutnya, pendapat Imam Ahmad, Imam Daud, dan Imam Mujtahid lainnya. Al-Qadhi ‘Iyadh meriwayatkan pendapat itu dari mayoritas ulama. Dan dihikayatkan bahwa al-Aswad bin Mazid melaksanakan shalat sebanyak 40 rakaat dan 7 rakaat witir. Menurut Imam Malik shalat tarawih itu sembilan kali istirahat, yakni 36 rakaat selain witir. Landasan hukum mazhab al-Maliki adalah mengikuti perbuatan penduduk Madinah”.
Imam al-Syarbaini dalam kitab Mughni al-Muhtaj mengatakan :
وهي عشرون ركعة بعشر تسليمات في كل ليلة من رمضان لما روى البيهقي بإسناد صحيح أنهم كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه في شهر رمضان بعشرين ركعة وروى مالك في الموطأ بثلاث وعشرين وجمع البيهقي بينهما بأنهم كانوا يوترون بثلاث
“Shalat tarawih berjumlah 20 rakaat dengan 10 kali salam yang dilakukan pada setiap malam di bulan Ramadhan. Hal ini dilandasi pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dengan isnad yang shahih yaitu “sesungguhnya mereka (Shahabat Nabi Saw) mendirikan tarawih pada masa ‘Umar bin Khathab ra sebanyak 20 rakaat” dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha’ dengan 23 rakaat. Imam al-Baihaqi mengkompromikan dua dalil ini dengan beranggapan bahwa mereka melakukan witir sebanyak 3 rakaat”.
Imam al-Sarkhasy dari kalangan al-Hanafiyyah mengatakan dalam kitabnya, al-Mabsuth :
انها عشرون ركعة سوى الوتر عندنا
“Shalat tarawih adalah 20 rakaat selain witir menurut mazhab kita (mazhab al-Hanafi)”.
Penjelasan serupa juga di terangkan oleh Imam Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiah Radd al-Mukhtar yang mengatakan bahwa ini merupakan pendapat jumhur ulama dan diamalkan oleh kaum muslim di timur dan barat.
Pendapat yang masyhur dalam mazhab al-Malikiyyah juga sama dengan pendapat jumhur ulama yaitu 20 rakaat sebagaimana di terangkan oleh ulama dari kalangan al-Malikiyyah, yaitu Imam Ahmad al-Dardir dalam kitab Syarah Shaghir. Imam al-Nafrawi dalam kitabnya, al-Fawakih al-Dawany, menerangkan bahwa para ulama salaf pada masa Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz melaksanakan shalat tarawih sebanyak 36 selain witir. Beliau mengatakan bahwa ini adalah pendapat yang di pilih oleh Imam Malik dalam kitab al-Mudawwanah dan diamalkan oleh ulama Madinah. Namun para pengikut Imam Malik lebih menguatkan 20 rakaat sebagaimana dilakukan pada masa sahabat Khalifah ‘Umar bin Khathab ra dan diamalkan oleh umat Islam sepanjang masa.
Ulama dari kalangan mazhab al-Hanbaliyyah juga menyebutkan bahwa pendapat yang dipilih menurut Imam Ahmad adalah 20 rakaat sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Mughni Ibnu Qudamah.
Memang, terdapat sedikit perbedaan dengan Imam Malik yang menetapkan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat karena beliau lebih mengutamakan amalan orang Madinah. Namun hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau menafikan bilangan shalat tarawih yang berjumlah 20 rakaat. Indikasinya adalah perkataan Imam Malik sendiri dalam kitabnya, al-Muwatha’, yang meriwayatkan bahwa pelaksanaan bilangan shalat tarawih pada masa ‘Umar bin Khathab ra adalah dua puluh rakaat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Imam Ibnu Ḫajar al-Haitami dalam kitab Tuhfat al-Muhtaj mengatakan :
ولهم فقط لشرفهم بجواره صلى الله عليه وسلم ست وثلاثون جبرا لهم بزيادة ستة عشر في مقابلة طواف أهل مكة أربعة أسباع بين كل ترويحة من العشرين سبع ، وابتداء حدوث ذلك كان أواخر القرن الأول ثم اشتهر ولم ينكر فكان بمنزلة الإجماع السكوتي
“Hanya bagi mereka (penduduk Madinah) karena kemuliaannya dengan sebab berdekatan dengan Nabi Saw yang dibolehkan melakukan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat dengan penambahan 16 rakaat sebagai pengimbang terhadap thawaf yang dilakukan penduduk Mekkah di mana di antara setiap dua tarwihah dilakukan sejumlah tujuh kali thawaf. Hal itu baru terjadi pada akhir abad pertama hijriah, kemudian hal itu menjadi masyhur dan tidak ada yang mengingkari. Dengan demikian hal ini berada pada kedudukan al-ijma’ al-sukuti”.
Dengan melihat beberapa pandangan para ulama tersebut, maka keliru bila ada yang mengatakan bahwa shalat tarawih dalam mazhab al-Syafi’i tidak berorientasi pada angka tertentu. Hal ini dapat dipahami karena penambahan shalat tarawih sejumlah 36 rakaat hanya dibenarkan kepada penduduk Madinah. Sedangkan bagi selain penduduk Madinah shalat tarawih berjumlah 20 rakaat. Adanya al-ijma’ al-sukuti tentang penambahan menjadi 36 rakaat bagi penduduk Madinah tersebut hanyalah dari segi kebolehannya saja, bukan dari segi adanya tuntutan dan anjuran.
Sebagaimana disebutkan dalam keterangan tersebut, penambahan shalat tarawih menjadi 36 rakaat hanya diberikan kepada penduduk Madinah karena mereka mendapat kemuliaan dan keistimewaan dengan berkat hijrah Nabi Saw dan menjadi tempat pemakaman Nabi Saw. Adapun bagi selain penduduk Madinah, penambahan seperti itu tidak dibolehkan. Penduduk Madinah yang dimaksudkan di sini adalah orang-orang yang berada di Madinah pada saat melakukan shalat.
Imam al-Qulyubi dalam Hasyiat al-Qulyubi mengungkapkan :
والمراد بهم من وجد فيها أو في مزارعها ونحوها في ذلك الوقت , وإن لم يكن مقيما بها والعبرة في قضائها بوقت الأداء فمن فاتته وهو في المدينة فله قضاؤها ولو في غير المدينة ستا وثلاثين , أو وهو في غير المدينة قضاها ولو في المدينة عشرين
“Yang dimaksudkan dengan penduduk Madinah adalah orang-orang yang berada di Madinah, di perkebunannya dan seumpamanya pada waktu pelaksanaan tarawih sekalipun ia tidak bermukim di sana. Hal yang menjadi tolak ukur untuk qadha’ adalah keberadaan seseorang pada waktu yang ditetapkan. Maka orang-orang yang tidak sempat melakukan tarawih saat berada di Madinah boleh meng-qadha-nya sebanyak 36 rakaat walaupun di luar Madinah. Sedangkan orang-orang yang tidak sempat melakukan tarawih saat berada di luar Madinah mesti melakukan qadha sebanyak 20 rakaat walaupun di Madinah”.
Dari uraian ini dapat diketahui bahwa penduduk Madinah juga mengakui dan tidak menyalahi shalat tarawih sebanyak 20 rakaat, hanya saja mereka menambahnya untuk mengimbangi kelebihan yang diperoleh oleh penduduk Mekkah yang berkesempatan melakukan thawaf di celah-celah tarwihah.
Menyangkut dengan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah ra, para ulama tidak menjadikannya sebagai dalil ketentuan bilangan shalat tarawih, tetapi hanya menjadikannya sebagai dalil kesunnahan shalat tarawih dan berjamaah.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra, pada akhir haditsnya beliau menanyakan tentang shalat witir kepada Nabi Saw. Begitu juga dalam riwayat Jabir bin Abdullah ra yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Ibnu Khuzaimah, pada akhir haditsnya, Nabi Saw menyatakan “...Sesungguhnya saya khawatir Allah akan mewajibkan shalat witir”. Hal ini mengindikasikan bahwa hadits-hadits ini berada dalam konteks pembicaraan shalat witir.
Selanjutnya, dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra tersebut juga terdapat pernyataan “tidak juga pada selain Ramadhan”. Dari pernyataan ini juga dapat dipahami bahwa Nabi Saw melaksanakan shalat yang jumlah bilangan rakaatnya sebelas tersebut sepanjang tahun, bukan hanya terkhusus pada bulan Ramadhan saja yang tentunya memperjelas bahwa yang dimaksud dalam riwayat tersebut bukanlah shalat tarawih karena shalat tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan.
Akhirnya, kita dapat meyakini bahwa hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra meskipun dipastikan kesahihannya, namun hadits ini bukanlah dalil shalat tarawih dan tidak dapat dijadikan sebagai pendukung bagi hadis riwayat Jabir bin ‘Abdullah ra tentang shalat tarawih.
Sementara itu, hadits yyang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah ra tersebut juga tidak bisa dijadikan sebagai dalil dalam penetapan jumlah rakaat tarawih karena hadits ini terdapat beberapa kemungkinan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Sinuri dalam kitab Kasyf al-Tabarih fi Bayani Shalat al-Tarawih:
Imam al-Sinuri dalam kitab Kasyf al-Tabarih fi Bayani Shalat al-Tarawih
و أما حديث جابر رضي الله عنه فإن كانت القصة واحدة فقد احتمل أن جابرا ممن جاء في الليلة الثانية، فلذا اقتصر على وصف ليلتين كذا قاله الزقاني في شرح الموطاء، واحتمل أن جابرا رضي الله عنه جاء إلى المسجد ولم يبق من صلاته صلى الله عليه وسلم إلاّ ثمان ركعات، فأخبر عما أدركه ورآه، مع أنه لم ينف الزائد عليها، بل ولو نفاه أيضا لم تقم به الحجة لذلك الإحتمال كما نفى أنس رضي الله عنه رفْعَه صلى الله عليه وسلم يديه في الدعاء إلا في الإستسقاء، مع أن غيره روى عنه صلى الله عليه وسلم رفع اليدين في غير الإستسقاء
“Adapun mengenai hadits Jabir ra, bila memang kisah itu satu, maka kemungkinan Jabir ra termasuk orang-orang yang hanya datang pada malam kedua. Oleh karena itu pada hadits tersebut Jabir ra hanya mengisahkan kisah dua malam. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam al-Zarqani dalam kitab Syarh al-Muwatha’. Kemungkinan juga Jabir ra datang terlambat ke mesjid dan ia hanya mendapati shalat sebanyak 8 rakaat, maka ia hanya memberitakan apa yang ia lihat. Meski demikian, bukan berarti Jabir ra menafikan rakaat tambahan yang lebih dari 8 rakaat. Bahkan seandainya Jabir ra menafikan pun tidak berpengaruh apa-apa dalam hal istidlal (pengambilan dalil) karena terdapat beberapa kemungkinan tadi sebagaimana Anas ra menafikan Nabi Saw mengangkat tangan pada selain shalat istisqa’, sementara sahabat yang lain meriwayatkan bahwa Nabi Saw mengangkat tangan dalam berdoa pada selain shalat istisqa’”.
Penjelasan Syeikh Ali Jum'ah Tentang Rakaat Shalat Tarawih
Salah satu ibadah yang di tuntut dalam bulan Ramadhan adalah shalat Tarawih yang setiap tahunnya selalu terjadi polemik tentang shalat Tarawih berkenaan dengan jumlah rakaatnya, antara pihak yang mengatakan shalat Tarawih adalah 8 rakaat dengan pihak yang mengatakan bahwa shalat Tarawih adalah 20 rakaat. Pada tulisan sebelumnya kami telah memaparkan dalil tentang jumlah rakaat Tarawih. Kali ini kami akan mengutip fatwa Syeikh Ali Jumah (mantan mufti Mesir dan merupakan seorang ulama besar zaman ini, lahir tahun 1952) tentang jumlah rakaat shalat tarawih dari kitab beliau Al-Bayan Li Ma Yasyghulu Al-Azhan jilid 1 tepatnya pada pertanyaan ke 62 pada halaman 186 – 190. Kami mengutip setiap paragraf dengan di iringi terjemahannya. Berikut penjelasan Syeikh Ali Jumah beserta terjemahannya:
س 62 يختلف الناس فى شهر رمضان المبارك بشأن مسألة صلاة التراوح فما هو الحكم الصحيح فى عدد ركعاتها؟
soal ke 62: Manusia berselisih paham dalam bulan Ramadhan yang penuh barakah tentang shalat Tarawih, berapa sebenarnya pendapat yang shahih tentang jumlah rakaatnya?
الجواب
نعيش النزاع السنوى فى شهر رمضان المبارك بين المتشددين الذين يريدون حمل الناس على مذهبهم والعوام الذين لا يجدوا من ينقذهم من هؤلاء . وسبب هذا الخلاف مسألة عدد ركعات صلاة التراويح فاصحاب الصوت العالى يخطئون الأئمة والامة بأسرها على مدى القرون الماضية وينكرون عليهم ايما انكار ويتهمونهم بالإبتداع ويحرمون ما أحل الله إذ قالوا لا يجوز الزيادة عن ثمان ركعات فى صلاة التراويح
jawab: Kita menghidupkan perdebatan tahunan dalam bulan Ramadhan antara golongan garis keras yang berencana menarik manusia ke dalam mazhab mereka dan masyarakat awam yang tidak menemukan penolong dari (kesesatan) mereka. Sebab perbedaan ini adalah masalah jumlah rakaat shalat Tarawih. Golongan yang bersuara tinggi (radikal) menyalahkan para ulama (ulama empat mazhab) dan sekalian umat sepanjang masa yang telah lalu. Mereka mengingkari para ulama dengan pengingkaran yang kuat dan menuduh mereka sebagai ahli bid’ah, mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan ketika mereka berkata "tidak boleh shalat lebih dari delapan rakaat pada shalat tarawih".
والتراويح فى اللغة جمع الترويحة يقول ابن منظور الترويحة فى شهر رمضان سميت بذلك لاستراحة القوم بعد كل أربع ركعات وفي الحديث صلاة التراويح لأنهم كانوا يستريحون بين كل تسليمتين والتراويح جمع ترويحة وهي المرة الواحدة من الراحة تفعيلة منها مثل تسليمة من السلام
Tarawih pada loghat adalah jamak dari tarwihah . Ibnu Manzur berkata "Tarwihah dalam bulan Ramdhan, di namakan dengan demikian (Tarawih) karena para jamaah beristirahat setelah setiap empat rakaat. Dalam hadits : shalat Tarawih, karena mereka beristirahat di antara setiap dua salam, kata Tarawih adalah jamak tarwihah. Tarwihah merupakan satu kali istirahat, wazan taf’ilah dari kalimat raahah, sama dengan taslimah dari kata salaam".
وبمجرد التعريف اللغوى يتبين أن صلاة التراويح أكثر من ثمان ركعات لأن الترويحة الواحدة بعد أربع ركعات فلو كانت ترويحتين للزم أن يكون عدد الركعات إثنى عشر ركعة والحق أن الأمة أجمعت على أن صلاة التراويح عشرون ركعة من غير وتر وثلاث عشرون ركعة بالوتر وهو معتمد المذهب الفقهية الأربعة الحنفية والمالكية فى المشهور والشافعية والحنابلة . وهناك قول نقل عن المالكية خلاف المشهور انها ست وثلاثون ركعة ولم تعرف الأمة القول بأن صلاة التراويح ثمان ركعات إلا فى هذا الزمان. وسبب وقوعهم فى تلك المخالفة افهم الخظأ للسنة النبوية وعد قدرتهم على الجمع بين الأحاديث وعد إلتفات إلى الإجماع القولى والفعلى من لدن الصحابة إلى يومنا هذا فاستشهدوا بحديث عائشة رضي الله عنها حيث قال ما كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهنن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا فقالت عائشة فقلت يا رسول الله أتنام قبل أن توتر ؟ فقال يا عائشة إن عيني تنامان ولا ينام قلبي
Dengan semata-mata defenisi secara harfiyah nyatalah bahwa shalat Tarawih jumlah rakaatnya melebihi delapan rakaat, karena sekali istirahat adalah setelah empat rakaat, maka jikalau shalat Tarawih itu dua kali istirahat maka maka lazimlah bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih adalah dua belas rakaat, sedangkan yang haq bahwa para umat (ulama) telah sepakat (ijmak) bahwa shalat tarawih adalah dua puluh rakaat tanpa witir dan dua puluh tiga dengan witir. Ini merupakan pegangan empat Mazhab Fiqih; Mazhab Hanafi, Mazhab Maliky, Mazhab Syafii dan Mazhab Hanbali. Selain itu ada pendapat yang di naqal dari ulama Mazhab Maliky berebeda dengan yang masyhur bahwa jumlah rakaat Tarawih adalah tiga puluh enam rakaat. Umat Islam tidak mengenal pendapat bahwa shalat tarawih delapan rakaat kecuali pada zaman ini. Penyebab mereka bisa terjatuh dalam perbedaan tersebut adalah karena kesalahan dalam memahami sunah Nabi, dan tidak mampu mengkompromikan hadits-hadits dan tidak melihat kepada ijmak qauly, ijmak fi’ly semenjak masa para shahabat hingga hari ini. sehingga mereka mengambil dalil dari hadits Siti Aisyah : “Tidaklah Rasulullah SAW melebihkan shalat dalam bulan Ramadhan dan selainnya dari sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat, maka jangan kamu tanyakan kebagusan dan panjangnya, kemudian beliau shalat empat rakaat maka jangan kamu tanyakan kebagusan dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat. Siti Aisyah berkata “Ya Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum melakukan shalat witir, beliau menjawab, Ya Aisyah, sesungguhnya mata saya tidur namun hati saya tidak tidur:
هذا الحديث يحكى عن هدى النبى صلى الله عليه وسلم فى نافلة قيام الليل عموما ولم يتعرض إلى صلاة التراويح إذ هى قيام مخصوص بشهر رمضان وهى سنة نبوية فى أصلها عمرية فى كيفيتها بمعنى أن الأمة صارت على ما سنه سيدنا عمر رضي الله عنه من تجميع الناس على القيام فى رمضان فى جميع الليالى وعلى عدد الركعات التى جمع الناس عليها على ابى بن كعب رضي الله عنه والنبي يقول عليكم بسنى وسنة الخقاء الراشدين المهدين عضوا عليها بالنواجذ
Hadits ini menceritakan petunjuk Nabi SAW tentang shalat malam secara umum, dan beliau tidak menunjuki kepada shalat Tarawih, karena shalat Tarawih adalah shalat malam yang khusus di bulan Ramadhan, shalat Tarawih adalah sunnnah Nabawiyah pada landasan dasarnya yang landasan kaifiyatnya adalah hadits Saidina Umar, maksudnya; umat berpendapat sebagaimana sunnah Saidina Umar ra berupa menghimpunkan manusia dalam mendirikan Ramadhan di malam hari dan dengan jumlah rakaat yang beliau perintahkan ketika menghimpunkan manusia dengan (imam Shalat) Ubai bin Ka’ab, sedangkan Nabi bersabda "peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terpetunjuk, gigitlah sunnah mereka dengan geraham".
إن لم يكن مستند الأمة فعل سيدنا عمر رصي الله عنه فلم تؤدى التراويح فى جماعة فى المسجد على إمام واحد وكأن هؤلاء يأخذون من سنة سيدنا عمر جمع الناس على إمام طوال الشهر وهو ما لم يفعله النبي ويتركون عدد ركعات ويزعمون أنهم يطبقون سنة صلى الله عليه وسلم فان كان هذا صحيحا وأنتم لا تلتفتون لفعل سيدنا عمر رضي الله عنه فيجب عليكم أت تصلوا التراويح فى البيت وتتركوا الناس يطبقون دين الله كما ورثواه ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
Jika bukan sandaran umat adalah perbuatan Saidina Umar maka kenapa shalat Tarawih di kerjakan secara berjamaah dengan satu imam. Mereka (kaum pengingkar jumlah shalat Tarawih 20 rakaat) mengambil sunnah Saidina Umar yang mengumpulkan manusia dalam satu Imam sepanjang bulan, padahal hal ini tidak pernah di kerjakan oleh Nabi SAW, dan mereka meninggalkan jumlah rakaat (yang di kerjakan Saidina Umar) dan mereka mendakwakan diri mereka yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW, maka jika ini benar, dan kamu tidak mau melihat kepada perbuatan Saidina Umar maka wajiblah atas kamu untuk shalat Tarawih di dalam rumah dan meninggalkan manusia yang sesuai dengan agama Allah sebagaimana mereka warisi. La haula wala quwwata illa billah al-'adhiim.
والادلة على أن ذلك فعل عمر رضي الله عنه ما رواه عبد الرحمن بن عبد القارى أنه قال خرجت مع عمر بن خطاب رضي الله عنه ليلة فى رمضان إلى المسجد فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلى الرجل لنفسه ويصلى الرجل فيصلى بصلاته الرهط فقال عمر إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل ثم عزم فجمعهم على أبي بن كعب قال ثم خرجت معه ليلة ً أخرى والناس يصلون بصلاة قارئهم فقال عمر بن الخطاب نعمت البدعة هذه والتي تنامون عنها أفضل من التي تقومون يريد آخر الليل وكان الناس يقومون أوله
Dalil bahwa hal tersebut adalah perbuatan Saidina Umar adalah hadits yang di riwayatkan oleh Abdur Rahman bin Abdul Qary, beliau berkata "saya keluar bersama Umar bin Khatab pada satu malam dalam bulan Ramadhan ke mesjid, ketika itu manusia berada dalam beberapa kelompok yang terpisah-pisah, seseorang shalat untuk dirinya sendiri, dan seseorang (yang lain juga) shalat, kemudian shalat dengan shalatnya satu kelompok (mengikutinya sebagai imam). Maka Saidina Umar berkata "saya berpendapat jikalau mereka di satukan dalam saru qari (imam) sungguh akan lebih baik". Kemudian beliau bersungguh-sungguh dan menghimpunkan mereka atas (imam) Ubay bin Ka’ab, kemudian saya keluar pada malam yang lain, sedangkan manusia shalat dengan satu qari (imam) mereka. Saidina Umar berkata "sebaik-baik bid’ah adalah ini, shalat yang mereka tidur darinya lebih baik dari (shalat) yang mereka dirikan", maksud beliau adalah (shalat yang di kerjakan) pada akhir malam, sedangkan manusia mengerjakannya pada awal malam".
وأن تلك الصلاة التى جمع عمر رضي الله عنه الناس عليها هى التراويح وهى عشرون ركعة دل على ذلك عدة أحاديث منها ما رواه السائب بن يزيد رضي الله عنه حيث قال كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضى الله عنه فى شهر رمضان بعشرين ركعة - قال - وكانوا يقرءون بالمئين ، وكانوا يتوكئون على عصيهم فى عهد عثمان بن عفان رضى الله عنه من شدة القيام
Dan sesungguhnya shalat yang oleh Saidina Umar satukan manusia atas seorang Imam adalah shalat Tarawih yaitu dua puluh rakaat, sebagaimana di tunjuki oleh beberapa hadits, antara lain; hadits riwayat Saib bin Yazid beliau berkata “mereka mendirikan shalat pada masa Saidina Umar dalam bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat. Beliau berkata “mereka membaca dua ratus (ayat) dan bertekan kepada tongkat mereka pada masa Saidina Usman karena beratnya berdiri (karena panjang bacaannya
وعن يزيد بن رومان قال كان الناس يقومون فى زمان عمر بن الخطاب فى رمضان بثلاث وعشرين ركعة
Diriwayatkan dari Yazid bin Ruman beliau berkata “adalah manusia mendirikan shalat pada masa Saidina Umar bin Khatab pada bulan Ramadhan dengan dua puluh tiga rakaat.
واتفقت المذاهب الفقهية الاربعة على ذلك فذهب الحنفية إلى ذلك قال السرخسى عن التراويح انها عشرون ركعة سوى الوترعندنا وقال مالك رحمه الله تعالى السنة فيها ستة وثلاثون . وذكر الكسانى ما يؤكد ذلك حيث قال وأما قدرها فعشرون ركعة في عشر تسليمات، في خمس ترويحات كل تسليمتين ترويحة وهذا قول عامة العلماء
Mazhab yang empat sepakat atas demikian (dua puluh rakaat). Mazhab Hanafi berpendapat demikian. Imam Sarkhasy berkata tentang shalat Tarawih, shalat Tarawih adalah dua puluh rakaat selain witir dalam mazhab kita (Mazhab Hanafi), Imam Malik berkata yang sunnah dalam bulan Ramadhan adalah tiga puluh enam rakaat, al-Kasa`i (ulama Mazhab Hanafi) menyebutkan hal yang menguatkan hal demikian. Beliau berkata adapun kadar (rakaat)nya adalah dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salam dalam lima kali istirahat. setiap dua kali salam satu kali istirahat, ini adalah pendapat umum ulama”.
ويعضد ضلك ما نقله العلامة ابن عابدين فى حاشيته حيث قال قوله ( وهي عشرون ركعة ) هو قول الجمهور وعليه عمل الناس شرقا وغربا
Hal tersebut di kuatkan dengan kutipan Imam Ibnu Abidin dalamkita Hasyiah beliau, beliau berkata “shalat Tarawih adalah dua puluh rakaat, ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan yang di amalkan manusia (umat Islam) di Timur dan Barat.
وأما المالكية فالمشهور من مذهبهم ما يوافق الجمهور قال العلامة الدردير ( والتراويح ) برمضان ( وهي عشرون ركعة ) بعد صلاة العشاء يسلم من كل ركعتين غير الشفع والوتر ( و ) ندب ( الختم فيها ) أي التراويح ، بأن يقرأ كل ليلة جزءا يفرقه على العشرين ركعة
Adapun Mazhab Maliki, yang masyhur dalam mazhab mereka adalah sesuai dengan pendapat mayoritas ulama. Imam ad-Dardiry berkata “Shalat Tarawih di bulan Ramadhan adalah dua puluh rakaat setelah shalat Isya, memberi salam dari setiap dua rakaat selain yang ganjil dan witir. dan di sunahkan menkhatamkan al-quran dalam shalat Tarawih, dengan cara membaca al-quran setiap malam satu juz yang di bagi dalam dua puluh rakaat.
وذكر العلامة النفراوى قوة مذهب الجمهور وموافقة أتباع مالك له والقول الآخر لمالك فقال (وكان السلف الصالح) وهم الصحابة رضي الله تعالى عنهم (يقومون فيه) في زمن خلافة عمر بن الخطاب رضي الله عنه وبأمره كما تقدم (في المساجد بعشرين ركعة) وهو اختيار أبي حنيفة والشافعي وأحمد، والعمل عليه الآن في سائر الأمصار. (ثم) بعد صلاة العشرين (يوترون بثلاث) من باب تغليب الأشرف لا أن الثلاث وتر؛ لأن الوتر ركعة واحدة كما مر، ويدل على ذلك قوله: (ويفصلون بين الشفع والوتر بسلام) استحبابا ويكره الوصل إلا لاقتداء بواصل، وقال أبو حنيفة: لا يفصل بينهما، وخير الشافعي بين الفصل والوصل، واستمر عمل الناس على الثلاثة والعشرين شرقا وغربا. (ثم) بعد وقعة الحرة بالمدينة (صلوا) أي السلف غير الذين تقدموا؛ لأن المراد بهم هنا من كان في زمن عمر بن عبد العزيز (بعد ذلك) العدد الذي كان في زمن عمر بن الخطاب (ستا وثلاثين ركعة غير الشفع والوتر) ... – إلى أن قال - وهذا اختاره مالك في المدونة واستحسنه وعليه عمل أهل المدينة، ورجح بعض أتباعه الأول الذي جمع عمر بن الخطاب الناس عليها لاستمرار العمل في جميع الأمصار عليه
Al-Allamah an-Nafrawi menyebutkan kuatnya pendapatnya mayoritas ulama dan pengikut Mazhab Malik menyetujuinya, demikian juga pendapat akhir dari Imam Malik. Beliau berkata : dan adalah ulama salaf yang shaleh yaitu para shahabat mendirikan shalat dalam bulan Ramadhan pada zaman Khalifah Umar bin Khatab dan dengan perintah beliau dalam mesjid dengan dua puluh rakaat, ini adalah yang di pilih oleh Abu Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ahmad, inilah yang di amalkan pada masa sekarang di seluruh Negri. Kemudian setelah dua puluh rakaat, mereka melakukan witir dengan tiga rakaat. (penamaan shalat tersebut dengan witir) adalah secara taghlib kepada yang lebih mulia (ganjil lebih mulia daripada genap), bukan karena tiga itu ganjil, karena yang ganjil adalah satu rakaat sebagaimana (penjelasan) yang telah lalu. Hal ini juga di tunjuki oleh perkataan beliau ; dan mereka memisahkan antara shalat genap dan ganjil dengan salam yang sunat, dan di makruhkan menyambungnya kecuali karena mengikuti imam yang juga mengambungnya (antara dua rakaat witir dan satu rakaat). Abu Hanifah berkata “tidak boleh di pisahkan di antara keduanya”. Imam Syafii memberikan pilihan antara memisahkan dan menyambungnya.
Amalan kaum muslimin terus menerus dengan 23 rakaat baik di timur dan di barat. Kemudian setelah peperangan harrah di Madinah, para ulama salaf yang lain – karena yang di maksudkan dengan mereka disini adalah para ulama yang ada pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz – setelah jumlah bilangan yang ada pada masa Saidina Umar (20 rakaat) shalat dengan 36 rakaat selain genap dan ganjil (shalat witir 3 rakaat) – hingga akhir perkataan beliau – ini adalah pendapat yang di pilih oleh Imam Malik dalam kitab al-Mudawwanah, dan beliau menganggapnya baik dan ini adalah yang di amalkan oleh ahli Madinah. Sebagian pengikut Imam Malik lebih menguatkan yang pertama (20 rakaat) sebagaimana Saidina Umar menyatukan manusia atasnya karena berkekalan amalan (umat Islam) atasnya pada sekalian kota.
وأما الشافعية فيصرحون بأن التراويح عشرون ركعة ذكر الامام النواوى ذلك فقال : مذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليمات غير الوتر وذلك خمس ترويحات والترويحة أربع ركعات بتسليمتين هذا مذهبنا وبه قال أبو حنيفة وأصحابه وأحمد وداود وغيرهم ونقله القاضى عياض عن جمهور العلماء وحكى أن الاسود بن مزيد كان يقوم بأربعين ركعة ويوتر بسبع وقال مالك التراويح تسع ترويحات وهى ستة وثلاثون ركعة غير الوتر واحتج بأن أهل المدينة يفعلونها هكذا
Adapun ulama Mazhab Syafii, mereka menyebutkan secara jelas bahwa shalat Tarawih adalah 20 rakaat, Imam Nawawi menyebutkan hal demikian. beliau berkata “menurut mazhab kita shalat Tarawih adalah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam selain witir, demikian adalah lima kali istirahat, satu kali istirahat adalah empat rakaat dengan dua kali salam. Ini adalah mazhab kita dan juga pendapat Abu Hanifah dan pengikut beliau, Imam Ahmad, Daud ad-Dhahiry, dan imam ainnya. Dan juga di kutip oleh Qadhi Iyadh dari mayoritas ulama. Di hikayahkan bahwa al-Aswad bin Mazid mendirikan shalat 40 rakaat dan melakukan witir dengan tujuh rakaat. Imam Malik berkata, shalat Tarawih itu adalah tujuh kali istirahat yaitu tiga puluh enam rakaat selain witir, beliau berhujjah bahwa ahli Madinah melakukannya demikian”.
ويجمع الشافعية بين مذهب المالكية ومذهب الجمهور حيث عللوا زيادة الركعات عند الامام مالك بأن ذلك لتعويض الطواف فى المسجد الحرام . قال ابن حجر : وهي عندنا لغير أهل المدينة عشرون ركعة كما أطبقوا عليها في زمن عمر - رضي الله عنه - لما اقتضى نظره السديد جمع الناس على إمام واحد فوافقوه وكانوا يوترون عقبها بثلاث، وسر العشرين أن الرواتب المؤكدة غير رمضان عشر فضوعفت فيه؛ لأنه وقت جد وتشمير، ولهم فقط لشرفهم بجواره - صلى الله عليه وسلم - ست وثلاثون جبرا لهم بزيادة ستة عشر في مقابلة طواف أهل مكة أربعة أسباع بين كل ترويحة من العشرين سبع
Para ulama Mazhab Syafii menyatukan pendapat Mazhab Maliki dan Mazhab mayoritas ulama ketika mereka (ulama Mazhab Syafii) memberikan alasan penambahan rakaat (hingga 36 rakaat) menurut Imam Malik, hal tersebut merupakan sebagai ganti dari thawaf yang di lakukan di Masjid Haram. Ibnu Hajar al-Haitami berkata “shalat Tarawih menurut kita (mazhab Syafii) selain ahli Madinah adalah 20 rakaat sebagaimana telah di sepakati pada masa Saidina Umar, karena sesuai dengan pandangan beliau yang tepat yang menyatukan manusia atas satu imam shalat kemudian mereka (shahabat yang lain) menyetujuinya. mereka melakukan shalat witir setelah Tarawih dengan tiga rakaat. Rahasia shalat Tarawih 20 rakaat adalah shalat rawatib muakkad dalam bulan lain adalah 10 rakaat maka dalam bulan Ramdhan di gandakan (menjadi 20 rakaat) karena Ramdhan adalah waktu bersunguh-sungguh (dalam beribadah). Dan hanya bagi mereka (penduduk Madinah) – karena kemulian mereka dengan sebab berhampiran dengan Rasulullah SAW – boleh menambahkan 16 rakaat (jumlah semuanya 36) sebagai ganti thawaf penduduk kota Makkah empat kali di antara setiap istirahat dari 20 rakaat sebanyak 7 kali.
ويؤكد ذلك ما ذكره العلامة شمس الدين محمد الرملى حيث قال : وهي عشرون ركعة بعشر تسليمات في كل ليلة من رمضان، لما روي أنهم كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب في شهر رمضان بعشرين ركعة. وفي رواية لمالك في الموطأ بثلاث وعشرين. وجمع البيهقي بينهما بأنهم كانوا يوترون بثلاث، وقد جمع الناس على قيام شهر رمضان الرجال على أبي بن كعب، والنساء على سليمان بن أبي حثمة، وقد انقطع الناس عن فعلها جماعة في المسجد إلى ذلك، وسميت كل أربع منها ترويحة؛ لأنهم كانوا يتروحون عقبها: أي يستريحون
hal tersebut juga di kuatkan oleh penjelasan Imam Syamsuddin Muhammad Ramli, beliau berkata “shalat Tarawih adalah 20 rakaat dengan 10 kali salam pada tiap malam dalam bulan Ramadhan, karena berdasarkan hadits yang di riwayatkan bahwa kaum muslimin mendirikan shalat pada masa Saidina Umar bin Khatab dengan 20 rakaat. Dalam riwayat Imam Malik dalam kitab al-Muwatha` dengan 23 rakaat, Imam Baihaqy menyatukan keduanya bahwa mereka melakukan witir dengan tiga rakaat. Saidina Umar bin Khatab menyatukan manusia dalam mendirikan bulan Ramadhan, kaum laki-laki di imami oleh Ubai bin Ka’ab sedangkan wanita dengan imam Sulaiman bin Abin Hatsnah. Dan padahal sunguh terputuslah manusia dalam melakukan shalat Tarawih secara berjamaah hingga masa itu. Dan di namakan setiap empat rakaat dengan satu tarwihah karena mereka beristirahat setelahnya.
اما الحنابلة فقد صرحوا بأن المختار عند الامام أحمد عشرون ركعة فقال العلامة ابن قدامة المقدسى : والمختار عند أبي عبد الله رحمه الله فيها عشرون ركعة وبهذا قال الثوري و أبو حنيفة و الشافعي وقال مالك : ستة وثلاثون وزعم أنه الأمر القديم وتعلق بفعل أهل المدينة فإن صالحا مولى التوأمة قال : أدركت الناس يقومون بإحدى وأربعين ركعة يوترون منها بخمس
Adapun ulama Mazhab Hanbali, mereka menerangkan bahwa yang di pilih di sisi Imam Ahmad adalah dua puluh rakaat, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy berkata "yang di pilih di sisi Abu Abdillah (Imam Ahmad) adalah dua puluh rakaat, ini juga pendapat Imam Sufyan Tsaury, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii. Imam Malik mengatakan 36 rakaat. Ada yang mendakwakan bahwa hal tersebut adalah pendapat beliau yang qadim (terdahulu) dan berdasarkan amalan ahli Madinah. Karena Salih maula at-Tau-amah berkata, saya dapati manusia mendirikan shalat 41 rakaat dan witir darinya sebanyak 5 rakaat".
وينقل كذلك العلامة البهوتى معتمد المذهب الحنبلى فيقول عن التراويح : سميت بذلك لأنهم كانوا يجلسون بين كل أربع يستريحون وقيل مشتقة من المراوحة وهي التكرار في الفعل وهي ( عشرون ركعة في رمضان ) لما روى مالك عن يزيد بن رومان قال كان الناس يقومون في زمن عمر في رمضان بثلاث وعشرين
Hal serupa juga di kutip oleh Imam al-Bahuty yang menjadi pegangan ulama Mazhab Hanbaly, beliau berkata tentang shalat Tarawih, di namakan shalat Tarawih dengan demikian karena mereka duduk melakukan istirahat di antara setiap empat rakaat. Ada yang mengatakan bahwa (kata Tarawih) di musytaq dari kata murawahah yang artinya berulang-ulang dalam berbuat. shalat Tarawih adalah 20 rakaat berdasarkan hadits yang di riwayatkan oleh Imam Malik dari Yazid bin Rauman beliau berkata, adalah manusia mendirikan shalat pada masa Saidina Umar dengan 23 rakaat.
حتى ابن تيمية الذى يعتمد عليه كثير من المتشددين يؤكد ما ذهب إليه الأئمة ويقر بأنه السنة عند كثير من العلماء فقال : شبه ذلك من بعض الوجوه تنازع العلماء في مقدار القيام في رمضان، فإنه قد ثبت أن أبي بن كعب كان يقوم بالناس عشرين ركعة في قيام رمضان، ويوتر بثلاث. فرأى كثير من العلماء أن ذلك هو السنة ؛ لأنه أقامه بين المهاجرين والأنصار، ولم ينكره منكر. واستحب آخرون: تسعة وثلاثين ركعة ؛ بني على أنه عمل أهل المدينة القديم. وقال طائفة: قد ثبت في الصحيح عن عائشة {أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يزيد في رمضان ولا غيره على ثلاث عشرة ركعة}. واضطرب قوم في هذا الأصل، لما ظنوه من معارضة الحديث الصحيح لما ثبت من سنة الخلفاء الراشدين، وعمل المسلمين. والصواب أن ذلك جميعه حسن
Bahkan, Ibnu Taimiyah sendiri yang merupakan pegangan mayoritas kaum radikal menguatkan pendapat para aimmah dan beliau mengakui bahwa hal tersebut adalah sunnah menurut kebanyakan ulama. Beliau berkata “serupa demikian dari beberapa segi oleh perdebat sebagian ulama tentang kadar (rakaat) mendirikan malam ramadhan, karena sungguh tetaplah bahwa Ubay bin Ka’ab berdiri dengan manusia dengan 20 rakaat dalam mendirikan malam Ramadhan dan melakukan witir 3 rakaat. Maka mayoritas ulama berpendapat bahwa hal yang demikianlah yang sunnah. Karena shalat tersebut didirikan di antara kaum muhajin dan Anshar dan tidak ada shahabat yang mengingkarinya. pendapat yang lain mengatakan sunat 39 rakaat berdasarkan amalan ahli Madinah yang qadim. Beliau berkata “sungguh telah tetaplah dalam hadits yang shahih dari Siti Aisyah bahwa Nabi tidak melebihkan shalat dalam bulan Ramadhan dan lainnya dari 23 rakaat”. berbeda-bedalah pendapat ulama tentang dalil ini, karena mereka menyangka adanya kontradiksi antara hadits shahih dengan hal yang tetap dengan sunnah khulaur rasyidin dan amalan kaum muslimin. Yang benar adalah semua adalah hasan.
ومما سبق نرى أن ما عليه الأئمة والعلماء والمذاهب الفقهية على مر العصور سلفا وخلفا شرقا وغربا أن صلاة التراويح عشرين ركعة وهى سنة مؤكدة وليست واجبة فمن تركها حرم أجرا عظيما ومن زاد عليها فلا حرج عليه ومن نقص عنها لا حرج عليه إلا أن ذلك يعد قيام ليل وليس سنة التراويح المذكورة . وااله تعالى أعلى وأعلم
Dari penjelasan terdahulu, bisa kita lihat bahwa pendapat yang akui oleh para aimmah dan ulama dan mazhab fiqh dari semenjak lalu sepanjang masa baik ulama salaf, khalaf, baik di timur dan barat bahwa shalat Tarawih adalah 20 rakaat dan sunat muakkad bukan wajib. Maka barang siapa meninggalkannya maka ia terlarang baginya pahala yang besar, dan barang siapa menambahkannya tiada dosa atasnya dan barang siapa yang menguranginya juga tiada dosa baginya tetapi shalatnya tersebut di namakan qiyam lail dan bukan sunah Tarawih yang telah di sebutkan.
Maka dari uraian di atas dapat di pahami bahwa para ulama ijmak bahwa shalat Tarawih adalah 20 rakaat, sedangkan 8 rakaat bukanlah shalat Tarawih, pendapat bahwa shalat Tarawih adalah 8 rakaat adalah pendapat yang muncul di akhir zaman dan tidak di kenal pada zaman para mujtahid yang empat.
Setelah melihat beberapa kemungkinan tersebut, maka hadits riwayat Jabir bin ‘Abdullah ra ini tidak bisa juga dijadikan pedoman dalam hal istidlal (pengambilan dalil) jumlah bilangan shalat tarawih. Hal ini sesuai dengan sebuah kaidah Imam al-Syafi’i yang disebutkan oleh Imam Zakaria al-Anshari dalam kitabnya, Ghayat al-Wushul :
وقائع الأحوال إذا تطرق إليها الاحتمال كساها ثوب الإجمال وأسقط بها الاستدلال
“Ketentuan (nash) tentang suatu peristiwa itu apabila mengandung beberapa kemungkinan akan termasuk kategori mujmal (global) dan tidak dapat digunakan sebagai dalil”. BAB II
KESIMPULAN
Berdasarkan kaidah tersebut, hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah ra ini dapat dipastikan gugur dari segi pengambilan dalil untuk menetapkan jumlah rakaat shalat tarawih. Kalaupun hadis ini sahih, maka hadits ini hanya dapat dijadikan sebagai dalil tentang disunatkannya berjamaah pada shalat tarawih.
Pandangan para ulama ini sangat sejalan dengan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw karena mereka mengikuti para sahabat. Sungguh keliru bila kita beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh para sahabat merupakan perkara bid’ah atau menyalahi sunnah Rasulullah Saw. Hal ini sama saja dengan beranggapan bahwa Nabi Saw adalah seorang pendusta dan memerintahkan untuk mengikuti suatu kemungkaran karena di dalam beberapa hadis beliau mengagungkan sahabatnya seperti ‘Umar bin Khathab ra, menyuruh kita mengikutinya, dan membenarkan pendapatnya.
Orang-orang yang menyangka bahwa shalat tarawih hanya 8 rakaat merupakan sunnah dan lebih dari bilangan tersebut adalah bid’ah, maka sesungguhnya ia telah menganggap sesat para sahabat dan menyalahi perintah Rasulullah Saw dengan cara yang tidak ia sangka. Hal senada juga diungkapkan oleh Mufti Mesir, DR. ‘Ali Jum’ah dalam kitabnya, al-Bayan li Ma Yasyghal al-Adzhan. Beliau mengatakan bahwa sebagian kelompok yang berpendapat bahwa jumlah bilangan shalat tarawih hanya 8 rakaat disebabkan mereka salah memahami sunnah al-nabawiyyah dan tidak mampu menghimpun seluruh hadits-hadits Nabi Saw.
Pelaksanaan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat juga menjadi tata cara pelaksanaan tarawih yang dilakukan di Mesjid al-Haram di Mekkah al-Mukarramah dan di Mesjid al-Nabawi di Madinah al-Munawwarah.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa pendapat jumlah bilangan rakaat shalat tarawih sebanyak 20 rakaat adalah pendapat yang disetujui oleh seluruh sahabat Nabi Saw dan juga para ulama besar Islam dari lintas mazhab fikih. Dengan kata lain, shalat tarawih 20 rakaat disokong dengan dalil yang cukup kuat meliputi ijma’ al-sukuti, ijma’ al-qauli dan ijma’ al-fi’li. Karenanya, bilamana ada di antara umat Islam meyakini jumlah rakaat shalat tarawih sebanyak 20 rakaat ini merupakan perkara bid’ah dan menyesatkan, maka ia dianggap fasiq disebabkan keyakinannya tersebut bertentangan dengan ijma’ khafi.
Dapat dipahami pula bahwa sebenarnya permasalahan jumlah bilangan rakaat shalat tarawih sebenarnya sudah jelas, barangkali hanya ulah sebagian kalangan saja yang semakin sibuk mengurusi masalah furu’iyyah, meninggalkan masalah pokok yang seharusnya diberi perhatian yang lebih besar dan terkesan mencari sensasi dengan pelaksanaan yang berbeda dari mayoritas umat Islam lainnya serta menyalahi dengan apa yang telah disepakati oleh sahabat dan para ulama sehingga membuat hal ini semakin mengemuka. Wallahua’lam Bish-Shawab.
و الله اعلم