Selasa, 08 Oktober 2013

PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA

PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA

A. Filsafat Jiwa
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal–soal kejiwaan ataupun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat. Memang tidak sukar untuk mencari unsur-unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran-piiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran- pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran-pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika. Dalam segi fisika, ia banyak memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati pendapat-pendapat filosof modern. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Sco. Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat: Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan–akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada, bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan. Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat–sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi. Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwawujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence .

PERCIKAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI

Namun demikian, al-Ghazali menekankan pula pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan untuk Pandangannya terhadap dunia pendidikan, al-Ghazali lebih banyak berorientasi pada penekanan bathiniyah (aspek afektif) daripada berorientasi pada pengetahuan inderawi belaka. Hal ini tampak dari buah karyanya seperti “Fatihat al-Kitab”, “Ayyuh al-Walad” dan “Ihya Ulumuddin”. al-Ghazali memandang pendidikan sebagai sarana atau media untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Sang Pencipta (Allah), dan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak yang lebih utama dan abadi. Hal ini terlihat dari tujuan-tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni:
1.      Insan Purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT
2.      Insan Purna yang bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Di samping itu, terdapat hal yang penting mendapat perhatian dalam mengkaji pemikiran Imam al-Ghazali dalam bidang pendidikan ini, yaitu pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai kehidupan yang sejalan dengan filsafat hidupnya, meletakkan dasar kurikulum sesuai dengan proporsinya serta minatnya yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Dengan demikian, corak pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan itu cenderung sufistik dan lebih banyak bersifat rohaniah. Karena menurutnya ciri khas pendidikan Islam itu lebih menekankan pentingnya menanamkan nilai moralitas yang dibangun dari sendiri-sendi akhlak Islam. kepentingan hidup manusia. Ilmu pengetahuan menurut Imam al-Ghazali adalah sebagai kawan di waktu sendirian, sahabat di waktu sunyi, penunjuk jalan kepada agama, merupakan pendorong ketabahan di saat dalam kekurangan dan kesukaran. Sedemikian agung Imam al-Ghazali memandang ilmu pengetahuan sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan Islam pada masa kini dan yang akan datang, sehingga Abdul Razak Naufal menyebut Imam al-Ghazali sebagai peletak dasar ilmu pengetahuan tentang kejiwaan (Psikologi) di dunia ini. Hal ini sejalan dengan corak dan filsafat pendidikannya yang bersifat sufistik atau kerohanian itu. Lebih spesifiknya pandangan  al-Ghazali tentang pendidikan itu antara lain dinyatakan: “Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat tinggi. Dan ini, “sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang.”
Menurut analisis Abidin Ibnu Rusn, Kata “hasil”, seperti tertera dalam kutipan pertama di atas, adalah menunjukkan pada proses, dan kata “mendekatkan diri kepada Allah” menunjukkan pada tujuan. Dan kata “ilmu” menunjukkan pada alat. Sedangkan pada kutipan kedua di atas merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam bentuk pengajaran. Dengan demikian pandangan al-Ghazali mengenai pendidikan Islam itu adalah sarana bagi pembentukan manusia yang mampu mengenal Tuhannya dan berkakti kepadaNya. Sehingga dalam pandangan al-Ghazali dinyatakan bahwa manusia yang dididik dalam proses pendidikan hingga pintar, namun tidak bermoral, maka orang tersebut dikategorikan sebagai orang bodoh, yang dalam hidupnya akan susah. Demikian pula orang yang tidak mengenal dunia pendidikan, dipandangnya sebagai orang yang binasa. Pandangan ini berdasarkan penyataan Abu Darda, salah seorang sahabat Nabi, yang dikutip oleh al-Ghazali dalam bukunya:
Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu berserikat pada kebaikan Dan manusia lain adalah bodoh dan tak bermoral. Hendaklah engkau menjadi orang yang berilmu atau belajar atau mendengar, dan jangan engkau menjadi orang keempat (tidak masuk salah seorang dari ketiga itu), maka binasalah engkau”.
Berdasarkan pernyataan ini al-Ghazali menekankan betapa pentingnya manusia itu berilmu dan ilmu itu harus diajarkan kepada yang lainnya. Dengan kata lain, al-Ghazali menghendaki bahwa pendidikan itu menjadi suatu kebutuhan pokok umat Islam. Karena Islam menghendaki pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat manusia. Dan dengan pendidikan itu pula umat Islam dapat berproses hingga mencapai predikat sebagai insan kamil, yakni manusia yang memiliki integritas moral yang tinggi, yang dibangun dari nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh Islam.

 PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI
1. Epistemologi
Al-Kindi telah mengadopsi ilmu-ilmu filsafat dari pemikiran tokoh filsafat Yunani, namun sebagai seorang filosuf Muslim, ia mempunyai kepribadian seorang Muslim sejati yang tak tergoda dan tetap mayakini prinsip-prinsip di dalam Islam. Al-Kindi mempunyai pandangan tersendiri tentang pengetahuan, menurutnya pengetahuan manusia itu pada dasarnya terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu :
1.         Pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan indera disebut pengetahuan      indrawi,
2.         Pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan akal disebut pengetahuan rasional 3.    Pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan disebut dengan pengetahuan isyraqi             atau iluminatif.

Pengetahuan Indrawi
Pengetahuan indrawi terjadi secara langsung ketika mengamati obyek-obyek material (sentuhan, penglihatan, pendengeran, pengcapan dan penciuman). Dalam proses yang sangat singkat tanpa tenggang waktu dan tanpa ada upaya, obyek-obyek yang telah ditangkap oleh indera tersebut berpindah ke imajinasi (musyawwiroh), kemudian diteruskan ke tempat penampungannya yang disebut hafizhah (recolection). Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini (Inderawi) tidak tetap dan akan selalu berubah, karena obyek yang diamati pun tidak tetap, selalu dalam keadaan menjadi, berubah setiap saat, bergerak, berlebih-berkurang kuantitasnya, dan berubah-ubah pula kualitasnya. Pengetahuan inderawi ini memiliki kelemahan cukup banyak, sehingga pengetahuan yang didapatkan belum tentu benar. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain bahwa indera terbatas, benda yang jauh terlihat kecil berbeda ketika benda tersebut berada di dekat kita, lalu apakah benda tersebut memang berubah menjadi kecil, tidak, keterbatasan kemampuan indera ini dapat memberikan pengetahuan yang salah. Kelemahan kedua adalah Indera menipu, gula yang rasanya manis akan terasa pahit ketika dirasakan oleh orang yang sakit, begitu juga udara yang yang panas akan terasa dingin. Sehingga hal ini akan memberikan pengetahuan yang salah. Kelemahan ketiga ialah obyek yang menipu, seperti ilusi, fatamorgana. Di sini Indera menangkap obyek yang sebenarnya tiada. Kelemahan keempat berasal dari indera dan obyek sekaligus, indera misalnya mata tidak dapat melihat obyek secara keseluruhan dan begitu juga obyek yang tidak memperlihatkan dirinya secara keseluruhan, sehingga hal ini akan memberikan informasi pengetahuan yang salah pula.

Pengetahuan Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh melalui akal bersifat universal, tidak parsial dan bersifat immaterial. Obyek pengetahuan rasional bukan individu, tetapi genus dan spesies. Orang mengamati manusia berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih atau berwarna, yang semua ini akan menghasilkan pengetahuan inderawi. tetapi orang yang mengamati manusia, menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk berfikir (rational animal=hayawan nathiq), telah memperoleh pengetahuan rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia. Manusia yang telah ditajrid (dipisahkan) dari hal-hal inderawi tidak mempunyai gambar telukis dalam perasaan. Cukup jelas bahwa pengetahuan hanya terbagi menjadi dua, karena keduanya sudah saling melengkapi, tapi hal tersebut belum cukup. Indera (empiris) dan akal (rasio/logis) yang bekerjasama belum mampu mendapatkan pengetahuan yang lengkap dan utuh. Indera hanya mampu mengamati bagian-bagian tertentu tentang obyek. Dibantu oleh akal, manusia juga belum mampu memperoleh pengetahuan utuh. Akal hanya sanggup memikirkan sebagian dari obyek. Al-Kindi memperingatkan agar orang tidak mengacaukan metode yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan, karena setiap ilmu mempunyai metodenya sendiri yang sesuai dengan wataknya.
Watak ilmulah yang menentukan metodenya, Adalah suatu kesalahan jika kita menggunakan suatu metode suatu ilmu untuk mendekati ilmu lain yang mempunyai metodenya sendiri. Adalah suatu kesalahan pula jika kita gunakan metode ilmu alam untuk metafisika.

Pengetahuan Isyraqi
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat-hakikat. Pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang genus dan spesies. Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan pada dua jalan ini. Al-Kindi, sebagaiman halnya banyak filosof isyraqi, mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan, yaitu melalui jalan isyraqi (iluminasi), atau pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi. Puncak dari jalan ini diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran-ajaran berasal dari wahyu kepada umat manusia. Para Nabi memperoleh pengetahuan berasal dari wahyu Tuhan tanpa upaya (kasab), tanpa bersusah payah untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semata. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa meraka untuk memperoleh kebenaran wahyu. Akal meyakinkan pengetahuan pengetahuan mereka berasal dari tuhan, karena pengetahuan itu ada ketika manusia tidak mampu mengusahakannya, karena hal itu memang di luar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dengan penuh ketaatan dan ketundukan kepada kehendak Tuhan, membenarkan semua yang dibawakan para Nabi. Untuk memberi contoh perbedaan pengetahuan manusia yang diperoleh dengan jalan upaya dan pengetahuan para nabi yang diperoleh dengan jalan wahyu, Al-Kindi mengemukakan pertanyaan orang-orang kafir tentang bagaimana mungkin Tuhan akan membangkitkan kembali manusia dari dalam kuburnya setelah tulang-belulangnya hancur menjadi tanah; sebagaimana termaktub dalam Al-Qur‟an surah Yasin ayat 78-82. Keterangan yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur‟an ini amat cepat diberikan oleh nabi Muhammad saw. karena berasal dari wahyu tuhan, dan tidak mungkin dapat dijawab dengan cepat dan tepat serta jelas oleh filosuf. Pertanyaan yang diajukan pada Nabi Muhammad SAW. adalah sebagai berikut: Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah membusuk? Segeralah tuhan menurunkan wahyu jawabannya: “Katakanlah yang memberinya hidup adalah penciptanya yang pertama kali, yang mengetahui segala kejadian, Dia yang menjadikan bagimu api dari kayu yang hijau, kemudian kamu menyalakan api darinya. Tiadakah yang telah menciptakan langit dan bumi sanggup menciptakan yang serupa itu? Tentu saja karena Dia maha Pencipta, maha Tahu. Bila Dia menghendaki sesuatu, cukuplah Dia perintahkan, “jadilah” maka iapun menjadi. Al-Kindi memberikan penjelasannya tentang ilmu yang berasal dari Tuhan sebagaimana dicerminkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an tersebut sebagai berikut: “Tidak ada bukti bagi akal yang terang dan bersih yang lebih gamblang dan ringkas daripada yang tertera dalam ayat-ayat Al-Qur‟an tersebut, yaitu bahwa tulang-belulang yang benar-benar telah terjadi setelah tiada sebelumnya, adalah sangat mungkin apabila telah rusak dan busuk ada kembali. Mengumpulkan barang yang berserakan lebih mudah daripada membuatnya dari tiada, meskipun bagi Tuhan tidak ada hal yang dapat dikatakan lebih mudah ataupun lebih sulit.


1.      Wahdatul Wujud
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJOJcE3JGRPInC-TqDq0UeB5kGJ3tqfpGxuE2PZzU7_lceGxoY5BEKC229_M-vrqZyV2syWob35KsR_5rzWXviLqWWg97NIsgKfIdlfWdMxt3Y0USmwkWUNoSse2GhrrjpQQbfuF9gKkg/s1600/Slide1.JPG

Wihadat al-wujud adalah ungkapan dua kata, yaitu wihdat dan al-wujud. Wihdat artinya sendiri tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud adrtinya ada. Dengan demikian wihdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Menurut ulama klasik ada yang mengartikan wihdah sebagai sesuatu yang dzatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Menurut para ahli filsafat dan sufisme al-wihdah sebagai satu kesatuan antara materi dan roh, subtansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak dan yang bathin, antara alam dan Allah.
Konsep kesatuan wujud sendiri sangat kompleks dan sulit ditangkap. Ibnu Arabi memberikan ilistrasi tentang bagaimana hubungan antara tuhan dan alam dalam konsep kesatuan wujudnya. “wajah sebenarnya satu, tapi jika engkau perbanyak cermin, maka ia akan menjadi banyak.” Segala macam benda dan mahluk yang terdapat di alam semesta sebagai manifestasi (tajalliyat)tuhan. Faham wahdat al-wujud oleh Ibn al-Arabi menjadi Khalq –makhluk– dan lahut  menjadi haq ­–Tuhan–. Khalq dan haq [10]adalah dua aspek bagi tiap sesuatu.
Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haq.
Konsep dasar pertama dari filsafat Ibn ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada dzat tunggal saja, dan tidak ada yang mewujud selain itu. Istilah Arab untuk mewujud-wujud, yang dapat disamakan dengan kepribadian (eksisten). Perbedaan, yang banyak dilakukan di masa kini, antara mewujud dan mengada (being and existence) tidak dilakukan oleh Ibn Arabi. Maka ketika dia mengatakan bahwa hanya ada zat tunggal, menurutnya yaitu:
Bahwa semua yang ada adalah zat tunggal, zat tunggal tidak terpecah ke dalam bagiannya, dan tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana. Oleh sebab itu, dalam setiap kepribadian tidaklah ada sesuatu kecuali zat tunggal.
Dengan kata lain, makhluk atau yang dijadikan, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib. Tegasnya yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan. Dalam Al-Qur’an dijelaskan:
هُوَالأَوَّلُ وَاّلأَخِرُ وَالظَّهِرُ وَاّلبَاطِنُ وَهُوَبِكُلِّ شَيّئٍ عَلِيّمُ
Artinya:  “dialah yang awal dan yang akhir dan yang  dahir dan yang bathin dan dia maha mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. 57:3)

1.     Insan Kamil (manusia sempurna)
Doktrin insan kamil dalam tasawuf Ibnu Arabi, selain terkait erat dengan doktrin wahdatul wujud dari inti ajaran tasawuf ibnu arabi. Bahwa manusia mencakup dalam dirinya semua nama dan sifat tuhan. Konsekuensi ontologis sifat teomorfis ini, yang mencakup semua nama ilahi yang menampakkan dirinya pada alam sebagai keseluruhan, menjadikan manusia mencakup pula semua realitas alam. Manusia adalah totalitas alam. Karena itu, manusia disebut miniatur alam.

Dalam konsep al-Insan al-Kamil yaitu merenungkan penampakan wajah Ilahi menampakkan wajah Tuhan yang ada pada setiap wujud dan yang berupa roh kudus dari wujud itu. Visi ini selaras dengan roh wujud ini berhubungan dengan suatu bentuk (hadharat) tertentu yang bersifat inderawi dan ragawi. Yaitu hal yang esensial bagi wujud Ilahi dengan kata lain esensi bagi Tuhan yang tak terbatas untuk memanifestasikan diri di dalam bentuk terbatas.
Dalam konsep insan kamil merupakan awal dari konsep nububiyah, apabila muhammad mati sebagai tubuh, namun nur Muhammad tetap ada.  Sebab dia sebagian dari tuhan. Insan kamil tak lain merupakan semacam cerminan dimana al-Haq bisa melihat diri-Nya atau akal yang mengetahui kesempurnaan sifat-sifat-Nya.

Preoses yang harus dilalui oleh seseorang untuk menjadi manusia sempurna adalah al-takhalluq bi ahlakillah (berahlak dengan ahlak Allah), yaitu berahlak dengan nama-nama Allah SWT. Takhalluq adalah membuat nama tuhan yang berbentuk potensial yang telah ada dalam diri kita menjadi aktual.
Dengan ketaatan mutlak kepada tuhan, ketaatan itu tidak lain dari ubudiyah (penghambaan).
Seorang manusia sempurna mengejawantahkan kesempurnaan manusia melalui realitas esensialnya, sebagai bentuk dari nama-nama allah, dan melalui pengejawantahan-pengejawantahan aksidentel, perwujudan luarnya mengejawantahkan nama tuhan secara nyata. Manusia-manusia  adalah bersifat tetap dalam hal esensi, sebagaimana halnya dengan wujud tuhan. Namun mereka mengalami berbagai transformasi dan transmutasi dengan cara berpartisipasi dalam ke-baqa-an dan penyingkapan diri tuhan.











































DAFTAR PUSTAKA

Mulyadi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta; Penerbit Erlangga. 2006), 36.
Harun Nasution, Filsafat Mistisisme dalam Islam, cet.1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). 92.
Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut tradisi Syari’ah Sufisme, cet.1,(Jakarta; Grafindo Persada, 1997), 168.
Taufik Abdullah dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 4, (Jakarta; PT Ichtiar baru Van Hoeve. 2002), 165.
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, cet.1., LKiS, Yogyakarta, 2002, hlm. 503-504
Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta; PT Renika Cipta. 2004), 101.
M. Fudoli Zaini. Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikrannya, (Surabaya; Risalah Gusti. 2000), 114.
 Ahmad Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia. 1997) hlm. 99.
Muhammad Lutffi Jum‟ah, Tarikh Falasifah Al Islam, (Mesir, 1927) hlm. 1.
George N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, (Pustaka Bandung, 1983). hlm. 21-22.
Abu Ahmadi, Filsafat Islam, (Toha Putra Semarang, 1982).
Kamal Al-Yazijy, Al-Nushus Al-Falsafiyah Al-Muyassarah, (Beirut : Dar Al-„ilm li al-Malayin, 1963), h.67-68.
Abdullah, Abdurrahman Shaleh., Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut al-Qur’an serta Implementasinya, Bandung: Duponegoro, 1991.
Abdul Baqi, Muhammad Fuad., al-Lu’lu wal Marjan jilid 2, terjemahan Indonesia oleh H. Salim Bahresy, Surabaya: Bina Ilmu, 1996.
Ahmad As-Sayid, Mahmud., Mendidik Generasi Qur’ani, Jakarta: Pustaka al- Husna, 1991.


Posting Komentar

 
Copyright © 2013 .
Shared by Nanggroe Seuramoe. Powered by BEK MUMANG BEEH..!